Berguru pada Al-Ghazali dalam Membangun Peradaban
Berguru pada Al-Ghazali dalam Membangun Peradaban
Oleh: Asmu'i*
Peradaban Islam bangun dan tegak berbasiskan ilmu pengetahuan. Ini sejalan dengan peran ilmu itu sendiri, yaitu sebagai prasyarat untuk menguasai dunia, akhirat dan dunia akhirat sekaligus. Karena nilai penting ini, selain kata-kata derivatifnya, dalam al-Qur'an terdapat 91 ayat yang mengandung kata-kata 'ilm, 67 ayat diwahyukan di Makkah, sisanya (24 ayat) di Madinah. Maka, jika saat ini umat Islam mundur, tentu karena terjadi krisis ilmu. Sehingga, tepat jika usaha membangun kembali peradaban Islam yang sudah nyaris lumpuh ini adalah dengan menegakkan kembali bangunan ilmu pengetahuan Islam.
Imam al-Ghazali telah dengan baik mencotohkan kepada kita 'bagaimana pengembangan ilmu itu berkait erat dengan perkembangan Peradaban Islam'. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad ath Thusi Abu Hamid al-Ghazali. Beliau biasa dipanggil Abu Hamid. Sedangkan gelarnya adalah Hujjatul Islam dan Zianuddin. Bahkan, Ibn 'Asakir melihat beliau sebagai Mujaddid (pembaharu) Islam abad ke-5 Hijriah (baca: Ta'rif al-Ahya' bi Fada'il al-Ihya', Hamisy Ihya' 'Ulum al-Din, jilid 1). Beliau dilahirkan di Thabrani, sebuah desa di Thusi Khurasan (450-505 H/1058-1111M).
Imam al-Ghazali dan Perang Salib
Imam al-Ghazali adalah seorang tokoh pemikir muslim yang hidup pada bagian akhir dari zaman keeamsan Islam di bawah khilafah Abbasiah yang berpusat di Baghdad. Kala itu, situasi politik dan ilmiah sedang mengalami krisis, baik karena motivasi ideologis maupun etnis dan ambisi duniawi. Di sisi lain, kekuatan Kristen Eropa merupakan ancaman serius, yang pada akhirnya terjadi perang Salib pertama, yaitu pada tahun 1095 (baca: Kitab al-'Ibar wa Daiwan al-Mubtada' wa al-Khabar). Dimana pada 50 tahun pertama, pasukan Salib mendominasi peperangan. Sebagian jantung negeri Islam, seperti Syiria dan Palestina ditaklukkan.
Selama perang Salib tersebut, banyak kalangan yang mempertanyakan peran al-Ghazali. Namun, seiring dengan terbitnya kitab al-Jihad karya Ali al-Sulami, imam di masjid Ummayyad, Damaskus, dan tokoh perumus dan penggerak jihad melawan tentara Salib, peran al-Ghazali mulai terkuak. Bahkan, sebagaimana yang akan penulis jelaskan di bawah, peran beliau begitu penting dan menentukan dalam kemenangan yang dicapai oleh kaum muslimin setelah itu.
Upaya mendasar Al-Ghazali
Pada babak pertama perang Salib yang dimenangkan pihak musuh (tentara Salib), kondisi moral umat Islam begitu parah. Gaya hidup mewah pada kalangan elit, fanatisme mazhab (ashabiyah) yang parah, dan kerusakan pemikiran (baca: Ibn Katsir dalam Hakazha Zhahara Jaylu Shalahuddin wa Hakazha 'Adat al-Quds). Maka tidak heran jika pada saat itu, seruan ulama kepada umat Muslim untuk berjihad tidak mendapat tanggapan positif.
Kondisi yang demikian menjadi perhatian serius al-Ghazali. Kajian terhadap kitab Ihya' Ulumuddin mengantarkan al-Kilani pada satu keyakinan bahwa kitab tersebut sengaja dipersiapkan al-Ghazali untuk menata kembali moral dan intelektual umat Islam kala itu. Jadi, yang al-Ghazali fikirkan tidak sekedar masalah perang Salib belaka, tapi masalah mendasar umat (moral dan keilmuan). Seruan ulama saat itu yang tidak diindahkan oleh umat Islam cukuplah menjadi bukti apa yang al-Sulami sampaikan dalam kitab al-Jihad benar adanya, yaitu bahwa memerangi pasukan Salib akan hampa jika tidak didahului dengan jihad melawan hawa nafsu.
Yang mendasar dan utama yang dilakukan para ulama seperti Al-Ghazali dalam menyembuhkan penyakit umat adalah dengan mengajarkan keilmuan yang benar. Ilmu yang benar akan mengantarkan pemiliknya kepada keyakinan, kecintaan pada ibadah, zuhud, dan jihad. Ilmu yang rusak akan menghasilkan ilmuwan dan manusia yang rusak, yang cinta dunia dan pasti enggan berjihad di jalan Allah. Ini masalah penting, karena itu, beliau mengawali pembahasan Kitab Ihya’ Ulumiddin dengan bab tentang ilmu (Kitabul Ilmi).
Ini menarik. Sebab, al-Ghazali ternyata memulai penanganan krisis yang terjadi di kalangan umat Islam pada saat itu 'langsung kepada sumbernya', yaitu hati/aqal. Hal ini sangat sesuai dengan pesan baginda Rasulullah saw, "Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat mudghah. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Itulah al-qalb." (HR. Muslim).
Mengenali Ulama
Ada dua perkara yang ditinggalkan Nabi saw untuk ummatnya, yaitu al-Qur'an dan al-Sunnah. Siapa yang berpegang teguh kepadanya, maka tidak akan tersesat selamanya. Namun kenyataannya, tidak semua orang bisa memahami dua hal ini dengan baik. Karena itu, di samping keduanya, Rasulullah saw juga mewariskan para ulama, sebagaimana sabda beliau, "Sesungguhnya ulama adalah ahli waris Nabi, para Nabi tidaklah mewariskan emas dan perak, yang mereka wariskan adalah ilmu. Barang siapa mengambil warisannya maka ia mendapat keuntungan yang sempurna." (HR. Ibu Majah dalam Ibn Hajar al-Qalany, Fath al-Bary, juz 1). Peran penting ulama juga terungkap dari Hadith Nabi saw: “Bandingannya para ulama di bumi ini samalah seperti bintang-bintang di langit. Ia dijadikan pedoman dalam kegelapan di laut dan di darat. Kalau bintang-bintang itu pudar mereka yang berpandukannya nyaris sesat” (Riwayat Imam Ahmad).
Hadith-hadith ini secara tegas menggambarkan hubungan erat antara peran ulama dengan ilmu. Para ulama inilah yang akan meneruskan misi kenabian, yakni amar ma'ruf nahi munkar. Bagi al-Ghazali, aktivitas amar ma'ruf nahi munkar ini adalah kutub terbesar dalam urusan agama. Karena itu, ia sangat penting. Jika ia tidak ada, maka syiar kenabian hilang, agama menjadi rusak, masyarakat bodoh, kesesata tersebar, bahkan satu negeri akan binasa. Ini telah Allah swt nyatakan secara jelas dalam QS. Al-Maidah: 78-79. Bahkan, tidak adanya amar ma'ruf nahi munkar dapat menyebabkan binasanya seluruh kaum, sebagaimana sabda Rasulullah saw: "Tidaklah dari satu kaum berbuat maksiat, dan di antara mereka ada orang yang mampu untuk melawannya, tetapi dia tidak berbuat itu, melainkan hampi-hampir Allah meratakan mereka dengan azab dari sisi-Nya." (HR. Abu Dawud, at-Turmudzi, dan Ibnu Majah).
Melihat penjelasan ini, kita tidak bisa serta merta melabel seseorang yang karena telah melalui jenjang pendidikan tertentu sebagai seorang 'alim (ulama). Untuk bisa memetakan hal ini, alangkah baiknya melihat apa yang disampaikan oleh Al-Khalil bin Ahmad: "Arrijaalu arba'ah: Rajulun yadrii wa yadrii an-nahu yadrii fadzalika 'alimun fas-aluhu, wa ra julun yadrii wa laa yadrii an-nahu yadrii fadzalika naasin fa dzakkiruhu, wa rajulun laa yadrii wa yadrii an-nahuu laa-yaddri fa dzalika mustarsyidun fa-arsyiduhu, wa rajulun la yadrii wa laa yadriii an-nahuu laa yadrii fa dzalika jaahilun farfudhuhu." (Baca: Imam al-Mawardi dalam Adab ad-Dunya wa ad-Diin: 86).
Demikianlah, orang alim itu adalah orang yang tahu dan ia tahu bahwa dirinya tahu. Orang ini paham apa yang harus dilakukan dan apa yang harus ditinggalkan. Tidak sekedar itu, ia juga tahu hak-hak ilmu, kemudian menunaikannya. Artinya, walaupun seseorang itu sudah menempuh jenjang pendidikan tertentu, namun ia belum dikatakan sebagai seorang 'alim kecuali setelah mengamalkan ilmunya. Hal ini telah diungkapkan juga oleh Ali ibn Abi Thalib, "innamal alim man amila bima alima." Ini karena tujuan utama ilmu adalah untuk diamalkan. Dan amal itu sendiri harus dilandasi oleh ilmu. Atau dengan kata lain, orang alim itu hanya mengamlkan apa yang diilmuinya.
Berikutnya, orang alim itu tidak akan merasa puas dengan ilmu yang diketahuinya. Justru ia akan merasa perlu untuk belajar dan terus belajar. Dalam hal ini, Abdullah bin Mubarak berkata, "seseorang tetap dikatakan alim selagi ia terus menuntut ilmu. Jika ia menyangka ilmunya telah cukup, maka sesungguhnya dia masih bodoh." Dan dalam sejarah, kita tahu, Imam Ahmad yang telah hafal satu juta Hadits (menurut ar-Razi), tidak pernah lepas dari pena dan tinta. Saat beliau ditanya oleh seseorang, "sampai kapankah Anda membawa tinta?" Beliau menjawab, "membawa tinta sampai ke kubur". Di sini, sungguh beliau bertekad mencari ilmu hingga ajal menjemput. Sebuah proses pendidikan yang tuula az-zaman.
Di masa hidupnya, al-Ghazali menunjukkan kepeduliannya kepada terbentuknya generasi ulama ini. Lebih dari itu, beliau bahkan memberikan keteladanan hidup. Ilmu yang tinggi dan peluang mendapatkan hidup mewah tidak menjadikannya lupa. Beliau justru memilih mendirikan pesantren di Thus, kampungnya sendiri. Tempatnya mengabdikan diri membina dan mempersiapkan kader-kader umat (ulama). Dari upaya ulama kala itu, seperti yang al-Ghazali lakukan inilah lahir satu generasi hebat, generasi Shalahuddin al-Ayyubi. Jadi, bukan seorang Shalahuddin saja, namun satu generasi Shalahuddin, yang pada 1187 berhasil memimpin pembebasan Kota Suci Jerusalem dari cengekaraman Pasukan Salib.
Hari ini, sering dengan masuknya ide-ide/nilai-nilai Barat Modern dan Postmodern telah menyebabkan terjadinya pencampuran konsep-konsep Barat dengan konsep-konsep Islam atau masuknya konsep-konsep Barat ke dalam pemikiran Islam. Sehingga, usaha menegakkan bangunan ilmu lebih dimaksudkan pada mengarahkan kembali pemikiran atau pola pikir manusianya, agar sejalan dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dalam Islam. Atau dengan kata lain, sejatinya, membangun peradaban Islam bukanlah membangun sarana prasarana fisik yang diberi label Islam, tapi mereorientasikan framework pemikiran umat Islam. Ini juga telah al-Ghazali contohkan. Dimana beliau dengan gigih dan cerdas telah meluruskan cara berfikir para filosof kala itu dalam bukunya 'Tahafut Falsafah.'
Melihat uraian di atas, jika hari ini banyak pihak yang mengeluhkan kualitas para akademisi Muslim, harusnya kita berkaca pada diri sendiri, apakah selama ini kita telah punya perhatian khusus menyiapkan kader-kader umat yang unggul. Silahkan diteliti, apakah ada satu Perguruan Tinggi Islam yang bisa diharapkan untuk menyiapkan kader umat semacam itu? Jika belum ada, harusnya kita mulai dari sekarang untuk menyiapkannya.
dari : sahabatku Asmu'i.
Semoga bermanfaat ya buat sahabat-sahabat evi.
Salam,
Medan, 15 April 2010
Oleh: Asmu'i*
Peradaban Islam bangun dan tegak berbasiskan ilmu pengetahuan. Ini sejalan dengan peran ilmu itu sendiri, yaitu sebagai prasyarat untuk menguasai dunia, akhirat dan dunia akhirat sekaligus. Karena nilai penting ini, selain kata-kata derivatifnya, dalam al-Qur'an terdapat 91 ayat yang mengandung kata-kata 'ilm, 67 ayat diwahyukan di Makkah, sisanya (24 ayat) di Madinah. Maka, jika saat ini umat Islam mundur, tentu karena terjadi krisis ilmu. Sehingga, tepat jika usaha membangun kembali peradaban Islam yang sudah nyaris lumpuh ini adalah dengan menegakkan kembali bangunan ilmu pengetahuan Islam.
Imam al-Ghazali telah dengan baik mencotohkan kepada kita 'bagaimana pengembangan ilmu itu berkait erat dengan perkembangan Peradaban Islam'. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad ath Thusi Abu Hamid al-Ghazali. Beliau biasa dipanggil Abu Hamid. Sedangkan gelarnya adalah Hujjatul Islam dan Zianuddin. Bahkan, Ibn 'Asakir melihat beliau sebagai Mujaddid (pembaharu) Islam abad ke-5 Hijriah (baca: Ta'rif al-Ahya' bi Fada'il al-Ihya', Hamisy Ihya' 'Ulum al-Din, jilid 1). Beliau dilahirkan di Thabrani, sebuah desa di Thusi Khurasan (450-505 H/1058-1111M).
Imam al-Ghazali dan Perang Salib
Imam al-Ghazali adalah seorang tokoh pemikir muslim yang hidup pada bagian akhir dari zaman keeamsan Islam di bawah khilafah Abbasiah yang berpusat di Baghdad. Kala itu, situasi politik dan ilmiah sedang mengalami krisis, baik karena motivasi ideologis maupun etnis dan ambisi duniawi. Di sisi lain, kekuatan Kristen Eropa merupakan ancaman serius, yang pada akhirnya terjadi perang Salib pertama, yaitu pada tahun 1095 (baca: Kitab al-'Ibar wa Daiwan al-Mubtada' wa al-Khabar). Dimana pada 50 tahun pertama, pasukan Salib mendominasi peperangan. Sebagian jantung negeri Islam, seperti Syiria dan Palestina ditaklukkan.
Selama perang Salib tersebut, banyak kalangan yang mempertanyakan peran al-Ghazali. Namun, seiring dengan terbitnya kitab al-Jihad karya Ali al-Sulami, imam di masjid Ummayyad, Damaskus, dan tokoh perumus dan penggerak jihad melawan tentara Salib, peran al-Ghazali mulai terkuak. Bahkan, sebagaimana yang akan penulis jelaskan di bawah, peran beliau begitu penting dan menentukan dalam kemenangan yang dicapai oleh kaum muslimin setelah itu.
Upaya mendasar Al-Ghazali
Pada babak pertama perang Salib yang dimenangkan pihak musuh (tentara Salib), kondisi moral umat Islam begitu parah. Gaya hidup mewah pada kalangan elit, fanatisme mazhab (ashabiyah) yang parah, dan kerusakan pemikiran (baca: Ibn Katsir dalam Hakazha Zhahara Jaylu Shalahuddin wa Hakazha 'Adat al-Quds). Maka tidak heran jika pada saat itu, seruan ulama kepada umat Muslim untuk berjihad tidak mendapat tanggapan positif.
Kondisi yang demikian menjadi perhatian serius al-Ghazali. Kajian terhadap kitab Ihya' Ulumuddin mengantarkan al-Kilani pada satu keyakinan bahwa kitab tersebut sengaja dipersiapkan al-Ghazali untuk menata kembali moral dan intelektual umat Islam kala itu. Jadi, yang al-Ghazali fikirkan tidak sekedar masalah perang Salib belaka, tapi masalah mendasar umat (moral dan keilmuan). Seruan ulama saat itu yang tidak diindahkan oleh umat Islam cukuplah menjadi bukti apa yang al-Sulami sampaikan dalam kitab al-Jihad benar adanya, yaitu bahwa memerangi pasukan Salib akan hampa jika tidak didahului dengan jihad melawan hawa nafsu.
Yang mendasar dan utama yang dilakukan para ulama seperti Al-Ghazali dalam menyembuhkan penyakit umat adalah dengan mengajarkan keilmuan yang benar. Ilmu yang benar akan mengantarkan pemiliknya kepada keyakinan, kecintaan pada ibadah, zuhud, dan jihad. Ilmu yang rusak akan menghasilkan ilmuwan dan manusia yang rusak, yang cinta dunia dan pasti enggan berjihad di jalan Allah. Ini masalah penting, karena itu, beliau mengawali pembahasan Kitab Ihya’ Ulumiddin dengan bab tentang ilmu (Kitabul Ilmi).
Ini menarik. Sebab, al-Ghazali ternyata memulai penanganan krisis yang terjadi di kalangan umat Islam pada saat itu 'langsung kepada sumbernya', yaitu hati/aqal. Hal ini sangat sesuai dengan pesan baginda Rasulullah saw, "Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat mudghah. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Itulah al-qalb." (HR. Muslim).
Mengenali Ulama
Ada dua perkara yang ditinggalkan Nabi saw untuk ummatnya, yaitu al-Qur'an dan al-Sunnah. Siapa yang berpegang teguh kepadanya, maka tidak akan tersesat selamanya. Namun kenyataannya, tidak semua orang bisa memahami dua hal ini dengan baik. Karena itu, di samping keduanya, Rasulullah saw juga mewariskan para ulama, sebagaimana sabda beliau, "Sesungguhnya ulama adalah ahli waris Nabi, para Nabi tidaklah mewariskan emas dan perak, yang mereka wariskan adalah ilmu. Barang siapa mengambil warisannya maka ia mendapat keuntungan yang sempurna." (HR. Ibu Majah dalam Ibn Hajar al-Qalany, Fath al-Bary, juz 1). Peran penting ulama juga terungkap dari Hadith Nabi saw: “Bandingannya para ulama di bumi ini samalah seperti bintang-bintang di langit. Ia dijadikan pedoman dalam kegelapan di laut dan di darat. Kalau bintang-bintang itu pudar mereka yang berpandukannya nyaris sesat” (Riwayat Imam Ahmad).
Hadith-hadith ini secara tegas menggambarkan hubungan erat antara peran ulama dengan ilmu. Para ulama inilah yang akan meneruskan misi kenabian, yakni amar ma'ruf nahi munkar. Bagi al-Ghazali, aktivitas amar ma'ruf nahi munkar ini adalah kutub terbesar dalam urusan agama. Karena itu, ia sangat penting. Jika ia tidak ada, maka syiar kenabian hilang, agama menjadi rusak, masyarakat bodoh, kesesata tersebar, bahkan satu negeri akan binasa. Ini telah Allah swt nyatakan secara jelas dalam QS. Al-Maidah: 78-79. Bahkan, tidak adanya amar ma'ruf nahi munkar dapat menyebabkan binasanya seluruh kaum, sebagaimana sabda Rasulullah saw: "Tidaklah dari satu kaum berbuat maksiat, dan di antara mereka ada orang yang mampu untuk melawannya, tetapi dia tidak berbuat itu, melainkan hampi-hampir Allah meratakan mereka dengan azab dari sisi-Nya." (HR. Abu Dawud, at-Turmudzi, dan Ibnu Majah).
Melihat penjelasan ini, kita tidak bisa serta merta melabel seseorang yang karena telah melalui jenjang pendidikan tertentu sebagai seorang 'alim (ulama). Untuk bisa memetakan hal ini, alangkah baiknya melihat apa yang disampaikan oleh Al-Khalil bin Ahmad: "Arrijaalu arba'ah: Rajulun yadrii wa yadrii an-nahu yadrii fadzalika 'alimun fas-aluhu, wa ra julun yadrii wa laa yadrii an-nahu yadrii fadzalika naasin fa dzakkiruhu, wa rajulun laa yadrii wa yadrii an-nahuu laa-yaddri fa dzalika mustarsyidun fa-arsyiduhu, wa rajulun la yadrii wa laa yadriii an-nahuu laa yadrii fa dzalika jaahilun farfudhuhu." (Baca: Imam al-Mawardi dalam Adab ad-Dunya wa ad-Diin: 86).
Demikianlah, orang alim itu adalah orang yang tahu dan ia tahu bahwa dirinya tahu. Orang ini paham apa yang harus dilakukan dan apa yang harus ditinggalkan. Tidak sekedar itu, ia juga tahu hak-hak ilmu, kemudian menunaikannya. Artinya, walaupun seseorang itu sudah menempuh jenjang pendidikan tertentu, namun ia belum dikatakan sebagai seorang 'alim kecuali setelah mengamalkan ilmunya. Hal ini telah diungkapkan juga oleh Ali ibn Abi Thalib, "innamal alim man amila bima alima." Ini karena tujuan utama ilmu adalah untuk diamalkan. Dan amal itu sendiri harus dilandasi oleh ilmu. Atau dengan kata lain, orang alim itu hanya mengamlkan apa yang diilmuinya.
Berikutnya, orang alim itu tidak akan merasa puas dengan ilmu yang diketahuinya. Justru ia akan merasa perlu untuk belajar dan terus belajar. Dalam hal ini, Abdullah bin Mubarak berkata, "seseorang tetap dikatakan alim selagi ia terus menuntut ilmu. Jika ia menyangka ilmunya telah cukup, maka sesungguhnya dia masih bodoh." Dan dalam sejarah, kita tahu, Imam Ahmad yang telah hafal satu juta Hadits (menurut ar-Razi), tidak pernah lepas dari pena dan tinta. Saat beliau ditanya oleh seseorang, "sampai kapankah Anda membawa tinta?" Beliau menjawab, "membawa tinta sampai ke kubur". Di sini, sungguh beliau bertekad mencari ilmu hingga ajal menjemput. Sebuah proses pendidikan yang tuula az-zaman.
Di masa hidupnya, al-Ghazali menunjukkan kepeduliannya kepada terbentuknya generasi ulama ini. Lebih dari itu, beliau bahkan memberikan keteladanan hidup. Ilmu yang tinggi dan peluang mendapatkan hidup mewah tidak menjadikannya lupa. Beliau justru memilih mendirikan pesantren di Thus, kampungnya sendiri. Tempatnya mengabdikan diri membina dan mempersiapkan kader-kader umat (ulama). Dari upaya ulama kala itu, seperti yang al-Ghazali lakukan inilah lahir satu generasi hebat, generasi Shalahuddin al-Ayyubi. Jadi, bukan seorang Shalahuddin saja, namun satu generasi Shalahuddin, yang pada 1187 berhasil memimpin pembebasan Kota Suci Jerusalem dari cengekaraman Pasukan Salib.
Hari ini, sering dengan masuknya ide-ide/nilai-nilai Barat Modern dan Postmodern telah menyebabkan terjadinya pencampuran konsep-konsep Barat dengan konsep-konsep Islam atau masuknya konsep-konsep Barat ke dalam pemikiran Islam. Sehingga, usaha menegakkan bangunan ilmu lebih dimaksudkan pada mengarahkan kembali pemikiran atau pola pikir manusianya, agar sejalan dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dalam Islam. Atau dengan kata lain, sejatinya, membangun peradaban Islam bukanlah membangun sarana prasarana fisik yang diberi label Islam, tapi mereorientasikan framework pemikiran umat Islam. Ini juga telah al-Ghazali contohkan. Dimana beliau dengan gigih dan cerdas telah meluruskan cara berfikir para filosof kala itu dalam bukunya 'Tahafut Falsafah.'
Melihat uraian di atas, jika hari ini banyak pihak yang mengeluhkan kualitas para akademisi Muslim, harusnya kita berkaca pada diri sendiri, apakah selama ini kita telah punya perhatian khusus menyiapkan kader-kader umat yang unggul. Silahkan diteliti, apakah ada satu Perguruan Tinggi Islam yang bisa diharapkan untuk menyiapkan kader umat semacam itu? Jika belum ada, harusnya kita mulai dari sekarang untuk menyiapkannya.
dari : sahabatku Asmu'i.
Semoga bermanfaat ya buat sahabat-sahabat evi.
Salam,
Medan, 15 April 2010