Mendidik Anak Ala Ulama
Mewariskan Harta dan Buku, untuk Pendidikan Anak
Sebagaimana dikatakan oleh Imam As Syafi’i, bahwa ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan 6 perkara, salah satunya adalah harta atau materi. Oleh karena itu, para ulama tidak tanggung-tanggung merogoh kocek, guna kelangsungan pendidikan anak-anak mereka.
Siapa yang tidak mengenal Imam As Suyuthi (991 H),seorang ulama besar yang memiliki lebih dari 600 karya. Menguasai berbagai macam disiplin keilmuan dalam Islam, hafal lebih dari 200 ribu hadits. Bahkan ia mengakui bahwa parangkat ijtihad sudah ia miliki. Dan waktu berumur 21 sudah menghasilkan karya. Salah satu karya yang amat populer bagi masyarakat muslim Indonesia adalah Tafsir al Jalalain.
Kehebatan beliau tidak lepas dari pendidikan dan jerih payah ayahnya dalam mempersiapkan pendidikannya. Ayahnya telah mempersiapkan sebuah perpustakaan yang langkap dengan berbagai macam kitab, sebelum As Suyuthi lahir, sehingga ulama Syafi’iyah ini dijuluki sebagai Ibnu Al Kutub (anak buku), karena beliau terlahir di sela-sela tumpukan buku. Maka tidaklah heran, jika semasa mudah As Suyuthi sudah menguasai banyak rujukan.
Ibnu Al Jauzi (510 H), seorang ulama ternama dalam madzhab Hambali juga banyak mendapatkan warisan dari sang ayah, guna menopang pendidikannya. Hal ini terungkap, tatkala ia memberi nasehat kepada anak-anaknya, agar senantiasa bersabar dalam mencari ilmu, dan senantiasa menjaga kehormatan diri. Beliau menulis dalam Laftah Al Kabid, fi Nashihati Al Walad, tentang nasehatnya kepada anaknya, sewaktu mereka masih kecil: ”Ketahuilah wahai anakku, bahwa ayahku adalah seorang yang kaya, dan telah meninggalkan ribuan harta. Ketika aku baligh, ia memberiku 20 dinar dan 2 rumah. Lalu aku mengambi dinar untuk kubelanjakan buku, lalu aku jual rumah dan aku gunakan uangnya unyuk mencari ilmu, hingga harta itu habis tidak tersisa. Ayahmu tidak terhina dikarenakan mencari ilmu, sehingga berkeliling ke negeri-negeri untuk mencari belas kasih orang lain. Aku merasa kecukupan, Allah berfirman: ”Barang siapa bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan jalan keluar dan member rizki dengan cara yang tidak disangka-sangka”.
Lalu beliau mengatakan, ”Maka, bersungguh-sungguhlah wahai anakku untuk tetap menjaga kehormatanmu, hingga tidak mencari-cari dunia yang akan menghinakan pemiliknya. Ada yang mengatakan bahwa, barang siapa qona’ah terhadap roti, maka ia tidak akan menjadi hamba bagi manusia”.
Ibnu Al Jauzi berani menempuh kesusahan di saat beliau mencari ilmu, antara lain kesusahan dalam rezeki, akan tetapi beliau tetap bersabar. Hingga ketika ilmu yang beliau peroleh sudah amat banyak, maka rezekilah yang mendatanginya (Lihat biografi beliau dalam Tadzkirah Huffadz, Imam ad Dzahabi, 4/1347).
Yahya bin Ma’in (233 H) juga tidak kalah hebatnya, guru Imam Bukhari ini mendapatkan warisan dari ayahnya sebesar 1 juta dirham dan 50 ribu dinar. Semua itu dihabiskan Yahya untuk mencari hadits, sehingga sandalpun ia tidak memilikinya. Dari harta itu, Yahya memiliki 114 rak yang penuh buku (lihat, Tahdzib At Tahdzib, Al Atsqalani, 11/282).
Begitu juga Imam As Syaibani Al Kufi (189 H), salah satu murid Imam Abi Hanifah, beliau pernah mengatakan:”Ayahku mewariskan kepadaku 30 ribu dirham. Aku gunakana 15 ribu untuk ilmu nahwu dan syair, dan sisanya untuk hadits dan fiqih (lihat, Tarikh Al Bagdad, Khotib, 2/173)
Begitu pula yang dialami Hisham bin Ammar At Tsulami (245 H), guru dari Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i dan yang lain. Ayahnya relah menjual rumah mereka seharga 20 dinar, untuk ongkos ke Madinah, dalam rangka mendengar hadits dari Imam Malik (lihat, Tahdzib Al Kamal, Al Mizzi, 3/1144)
Tidak jauh beda dengan pengorbanan orang tua dari Ali Bin Ashim Al Wasithi (201 H), salah seorang Hafidz Bagdad, yang juga menjadi syeikh Imam Ahmad dan Yahya Ad Duhli (guru Imam Al Bukhari). Dimana suatu saat, ayahnya mengatakan kepadanya,”Telah aku berikan uang sebesar 100 ribu dinar, dan aku tidak mau melihat wajahmu, kecuali setelah kamu mendapatkan 100 ribu hadits!” (lihat, Tadzkirah Al Huffadz, Ad Dzahabi, 1/317).
Tidak jauh bereda antara ulama klasik dan ulama kontemporer, Syeikh Badru Al Alim, Muhadits India, yang ikut memberi ta’liq (komentar) kepada Faidhu Al Bari, syarah (penjelasan) dari Shohih Al Bukhari, yang ditulis oleh Al Muhadits Anwar Syah Al Kashmiri, juga mempersiapkan pendidikan anak-anaknya dengan baik. Saat awal-awal ia bermukim di Madinah, beliau membeli kitab Al Ajwibah Al Fadhilah, yang ditulis oleh Imam Laknawi, padahal usia beliau sudah tua, dan tidak mampu lagi membaca.
Akhirnya beliau menyatakan kepada Syeikh Abu Ghuddah, muridnya”Kamu tahu bahwa aku tidak mampu lagi membacanya, akan tetapi, aku membelinya untuk kuwariskan kepada keluarga dan anak-anakku, itu lebih baik bagi mereka daripada warisan yang berupa harta”. (Lihat, Shofhat min Shabri Al Ulama, 300)
Memilih Rezeki Halal, untuk Pendidikan Anak
Para ulama tidak hanya mewariskan harta untuk pendidikan anak-anak mereka, akan mereka juga menjaga agar harta yang diberikan kepada anak-anak mereka adalah harta yang bersih syubhat dan halal. Karena, bersih tidaknya harta juga mempengaruhi bersih tidaknya ilmu yang diperoleh.
Adalah Kamal Al Ambari (513 H), penulis Nuzhah Al Auliya, yang juga seorang ulama nahwu, yang memiliki harta pas-pasan. Mendapat rumah dari warisan ayahnya, dan hanya mengandalkan sewa kedai, yang dalam sebulan cuma menghasilkan setengah dinar.
Suatu saat khalifah Al Mustadhi’ mengirimkan utusan kepadanya, dengan membawa uang 500 dinar, untuk diberikan kepadanya. Akan tetapi Al Ambari menolak. Akan tetapi utusan tersebut mengatakan, ”Kalau engkau tidak mau, berikanlah harta ini kepada anakmu”. Al Ambari menjawab,”Jika aku yang menciptakannya, maka akulah yang memberinya rezeki”
Perkataan Al Ambari menunjukkan bahwa Allah telah mengatur rizki anaknya, hingga ia tidak perlu menerima memberikan hadiyah itu kepada anaknya, yang mana ia sendiri enggan menerima harta pemberian penguasai, karena wara’ (hati-hati).
Ulama: Guru dan Sahabat Anaknya dalam Mencari Ilmu
Hal yang tidak bisa ditinggalkan dalam mendidik adalah keteladanan. Jika orang tua menginginkan anaknya mencintai ilmu, maka ia sendiri juga harus mencintai ilmu, hingga bisa menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya.
Para ulama sendiri mengajak anak-anaknya untuk bersama-sama melakukan perjalanan dan belajar dengan para ulama lain. Semisal Asad bin Al Furat (213 H), seorang murid Imam Malik, yang sudah diajak ayahnya “menjelajah” sejak ia berumur 2 tahun, untuk mencari ilmu, bersama-sama dengan pasukan Arab, menuju Qairawan, Tunis, dan belajar Al Qur’an di negeri itu, lalu meriwayatkan Al Muwatha’ dari Ibnu Ziyad. (lihat, Syajarah An Nura Az Zakiyah, 62).
Begitu pula Imam As Suyuthi (991 H), sejak berumur 3 tahun sudah dibawah ayahnya menghadiri majelis Ibnu Hajar Al Atsqalani. Wafatnya sangh ayah tidak bererti pendidikan si anak harus dilalaikan. Ayah Suyuthi sebelum wafat sudah berwashiyat kepada Kamaluddin bin Hammam, ulama masa itu untuk mendidik As Suyuthi.
Hal yang sama dilakukan oleh ayah dari Ibnu Mulaqqin, guru dari Ibnu Hajar Al Atsqalani dari Mesir. Sebelum menjadi yatim, ayahnya telah menitipkan pendidikannya kepada seoarang ulam yang bernama Syeikh Isa Al Maghribi, seorang yang biasa mentalqin (membacakan) Al Qur’an, kepada para penuntut ilmu, hingga ia lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Mulaqqin (anak pentalqin). Beliau adalah ulama yang paling banyak karyanya di zaman itu.
Imam Sam’ani (562 H), sejak berumur 4 tahun, ayahnya, Imam Abu Bakar menghadirkannya ke beberapa ulama, seperti Ali Abdu Al Ghaffar As Sairazi, Abu ‘Ala Al Qushairi, dan beberapa ulama. Lalu saat ia berumur 9 tahun, ayahnya membawanya ke Naisabur. Tidak hanya itu, setelah ia pulang ke Marwa pada umur 38 dan menikah, anaknya yang bernama Abu Mudhafar yang masih berumur 3 tahun pun ia bawa bersamanya kembali ke Naisabur dalam rangka berguru kepada beberapa ulama di sana. (lihat, Thabaqat As Syafi’iyah, As Subki, 7/180).
Imam Abu Al Waqt As Sijzi (553 H), yang disebut Imam Ad Dzahabi sebagai Syeikh Al Islam, yang juga merupakan guru Ibnu Al jauzi, sudah melakukan perjalanan mencari ilmu sejak umur 7 tahun. Ia memiliki kisah yang amat dahsyat, tatkala melakukan perjalanan mencari ilmu bersama ayahnya.
Suatu saat ia bertutur kepada salah satu muridnya Yusuf bin Ahmad As Syairazi:”Wahai anakku, aku telah melakukan perjalanan untuk menyimak As Shahih dengan berjalan bersama ayahku, dari Harat menuju Dawudi. Umurku belum ada 10 tahun. Saat melakukan perjalanan, ayahku memberiku dua batu, jika aku terlihat lelah, maka ia menyuruhku untuk melempar satu batu, lalu aku melanjutkan perjalanan. Kadang ia bertanya,”engkau sudah lelah?”, maka aku menjawab,”belum”. “Kenapa jalanmu lamban?”. Maka aku cepatkan langkahku, hingga aku tidak mempu lagi, lalu ia menggendongku”.
Suatu saat mereka berpapasan dengan rombongan petani. Dan mereka menyeru kepada ayah As Sijzi, wahai Syeikh Isa, biarkan anak ini naik kendaraan bersama kami, kita bersama-sama menuju Bushanj. Maka ayahnya mengatakan, “Aku berlindung kepada Allah, dari naik kendaraan ketika mencari hadits, akan tetapi kami memilih jalan”.
Ketika bertemu dengan Abdul Baqi Al Harawi, ia menawariku manisan, aku menjawab,”Wahai tuan, saya lebih mencintai satu juz dari Abu Jahm lebih baik daripada makan manisan”. Ia tersenyum dan mengatakan,”jika yang masuk makanan, yang keluar adalah omongan”.
Lihat, bagaimana ayah As Sijzi dalam mendidik anaknya, hingga anak yang masih kecil itu sudah memiliki kecintaan yang tinggi terhadap hadits. Dan bagaimana ayah As Sijzi, mengajari anaknya menjaga azzam, guna melawan rasa capek selam melakukan perjalanan. dengan menggunakan sarana batu.
Begitu pula banyak para ulama, disamping menjadi ayah, juga menjadi guru bagi anak-anaknya, semisal Kamal Al Ambari (077 H) memperolah hadits dari ayahnya, Tajuddin As Subki (771 H), mengambil ilmu dari ayahnya, Taqiyuddin As Subki. Bagitu pula Abu Zur’ah Al Iraqi mendapatkan ilmu dari ayahnya Hafidz Al Iraqi, hingga ia meneruskan syarah Tharhu At Tasrib yang telah disyarah Hafidz Al Iraqi sebelum wafat. Juga amat banyak periwayat hadits yang mengambil dari ayah, kakek dan seterusnya.
Begitu juga Imam As Syaukani penulis Nail Al Authar, telah membaca kitab Al Azhar, fiqih madzhab Zaidiyah dari ayahnya. Ada kisah menarik dalam hal ini, yang mencerminkan kekritisan Imam As Syaukani. Di sela-sela proses belajar dengan ayahnya, ia bertanya: “Ayah mengatakan, ini madzhab Hanafi, ini madzhab Fulani, mana yang benar dari pendapat-pendapat ini?” Ayahnya menjawab: “yang benar adalah pendapat yang dirajihkan Imam Al Hadi”. Imam As Syaukani pun menanggapi:”Tidak mungkin ijtihad Imam Al Hadi benar semua, pasti ada yang salah. Maka, bagaimana kita tahu pendapat itu benar?” Akhirnya ayah Syaukani membawanya berguru kepada beberapa ulama di Yaman.
Selalu memantau hasil belajar anak
Tidak hanya mengajar atau memilih guru yang baik. Akan tetapi para ulama juga memantau hasil belajar si anak. Simak penuturan Tajuddin As Subki (771H):”Aku jika datang dari seoarang syeikh, maka ayahku (Taqiyuddin As Subki) berkata kepadaku,”tunjukkan apa yang telah kamu peroleh, yang kamu baca dan yang kamu dengar”. Maka, aku menerangkan tentang hal-hal yang telah kuperoleh dalam majelis. Jika aku pulang dari Ad Dzahabi, ia berkata,”tunjukkan yang telah engkau dapat dari syeikhmu”. Jika aku pulang dari Syeikh Najmuddin Al Qahfazi, ia mengatakan,”yang kau dapat dari masjid Thingkiz”. Jika aku pulang dari Syeikh Syamsuddin Ibnu Naqib, maka ia mengatakan,”yang kamu dapati dari Syamiyah”. Jika aku pulang dari Syeikh Abu Abbas Al Andarsy, ia mengatakan, ”yang kau dapati dari masjid”. Jika aku pulang dari Hafidz Al Mizzi, ia mengatakan,”yang kamu peroleh dari As Syeikh”. Ia melafadzkan kata As Syeikh dengan fashih, dan meninggikan suaranya. Aku mengerti, bahwa itu bertujuan agar aku juga ikut merasakan kebesaran nama Al Mizzi, hingga aku lebih banyak mendatangi majelisnya”. (lihat, Thabaqat As Syafi’iyah, As Subki, 10/399).
Hasilnya, tidak diragukan lagi. Tajuddin As Subki menjadi ulama yang cukup diperhitungkan, khususnya di kalangan muhaditsin dan madzhab As Syafi’i. Sehingga Al Mizzi menginginkan murid-muridnya mencatat As Subki dalam kelompok ulama thabaqat ulya (tingkatan tertinggi), begitu juga Imam Ad Dzahabi, menginginkan hal yang sama, walau usia As Subki masih relatif muda, Ad Dzahabi menilainya sebagai muhadits jayyid (baik). Akan tetapi orang tuanya, Taqiyuddin memprotes, cukup thabaqat pemula. Akan tetapi para gurunya juga tidak terima. Akhirnya As Subki dimasukkan thabaqat wustha (tingkatan pertengahan).
Secara tidak langsung, Taqiyuddin mengajari anaknya, Tajuddin, agar senantiasa rendah hati, walau ilmunya sudah hamper setara dengan para gurunya.
--
from: www.pks-arabsaudi.org
dari : sahabatku ahmad mujahidin
Sebagaimana dikatakan oleh Imam As Syafi’i, bahwa ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan 6 perkara, salah satunya adalah harta atau materi. Oleh karena itu, para ulama tidak tanggung-tanggung merogoh kocek, guna kelangsungan pendidikan anak-anak mereka.
Siapa yang tidak mengenal Imam As Suyuthi (991 H),seorang ulama besar yang memiliki lebih dari 600 karya. Menguasai berbagai macam disiplin keilmuan dalam Islam, hafal lebih dari 200 ribu hadits. Bahkan ia mengakui bahwa parangkat ijtihad sudah ia miliki. Dan waktu berumur 21 sudah menghasilkan karya. Salah satu karya yang amat populer bagi masyarakat muslim Indonesia adalah Tafsir al Jalalain.
Kehebatan beliau tidak lepas dari pendidikan dan jerih payah ayahnya dalam mempersiapkan pendidikannya. Ayahnya telah mempersiapkan sebuah perpustakaan yang langkap dengan berbagai macam kitab, sebelum As Suyuthi lahir, sehingga ulama Syafi’iyah ini dijuluki sebagai Ibnu Al Kutub (anak buku), karena beliau terlahir di sela-sela tumpukan buku. Maka tidaklah heran, jika semasa mudah As Suyuthi sudah menguasai banyak rujukan.
Ibnu Al Jauzi (510 H), seorang ulama ternama dalam madzhab Hambali juga banyak mendapatkan warisan dari sang ayah, guna menopang pendidikannya. Hal ini terungkap, tatkala ia memberi nasehat kepada anak-anaknya, agar senantiasa bersabar dalam mencari ilmu, dan senantiasa menjaga kehormatan diri. Beliau menulis dalam Laftah Al Kabid, fi Nashihati Al Walad, tentang nasehatnya kepada anaknya, sewaktu mereka masih kecil: ”Ketahuilah wahai anakku, bahwa ayahku adalah seorang yang kaya, dan telah meninggalkan ribuan harta. Ketika aku baligh, ia memberiku 20 dinar dan 2 rumah. Lalu aku mengambi dinar untuk kubelanjakan buku, lalu aku jual rumah dan aku gunakan uangnya unyuk mencari ilmu, hingga harta itu habis tidak tersisa. Ayahmu tidak terhina dikarenakan mencari ilmu, sehingga berkeliling ke negeri-negeri untuk mencari belas kasih orang lain. Aku merasa kecukupan, Allah berfirman: ”Barang siapa bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan jalan keluar dan member rizki dengan cara yang tidak disangka-sangka”.
Lalu beliau mengatakan, ”Maka, bersungguh-sungguhlah wahai anakku untuk tetap menjaga kehormatanmu, hingga tidak mencari-cari dunia yang akan menghinakan pemiliknya. Ada yang mengatakan bahwa, barang siapa qona’ah terhadap roti, maka ia tidak akan menjadi hamba bagi manusia”.
Ibnu Al Jauzi berani menempuh kesusahan di saat beliau mencari ilmu, antara lain kesusahan dalam rezeki, akan tetapi beliau tetap bersabar. Hingga ketika ilmu yang beliau peroleh sudah amat banyak, maka rezekilah yang mendatanginya (Lihat biografi beliau dalam Tadzkirah Huffadz, Imam ad Dzahabi, 4/1347).
Yahya bin Ma’in (233 H) juga tidak kalah hebatnya, guru Imam Bukhari ini mendapatkan warisan dari ayahnya sebesar 1 juta dirham dan 50 ribu dinar. Semua itu dihabiskan Yahya untuk mencari hadits, sehingga sandalpun ia tidak memilikinya. Dari harta itu, Yahya memiliki 114 rak yang penuh buku (lihat, Tahdzib At Tahdzib, Al Atsqalani, 11/282).
Begitu juga Imam As Syaibani Al Kufi (189 H), salah satu murid Imam Abi Hanifah, beliau pernah mengatakan:”Ayahku mewariskan kepadaku 30 ribu dirham. Aku gunakana 15 ribu untuk ilmu nahwu dan syair, dan sisanya untuk hadits dan fiqih (lihat, Tarikh Al Bagdad, Khotib, 2/173)
Begitu pula yang dialami Hisham bin Ammar At Tsulami (245 H), guru dari Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i dan yang lain. Ayahnya relah menjual rumah mereka seharga 20 dinar, untuk ongkos ke Madinah, dalam rangka mendengar hadits dari Imam Malik (lihat, Tahdzib Al Kamal, Al Mizzi, 3/1144)
Tidak jauh beda dengan pengorbanan orang tua dari Ali Bin Ashim Al Wasithi (201 H), salah seorang Hafidz Bagdad, yang juga menjadi syeikh Imam Ahmad dan Yahya Ad Duhli (guru Imam Al Bukhari). Dimana suatu saat, ayahnya mengatakan kepadanya,”Telah aku berikan uang sebesar 100 ribu dinar, dan aku tidak mau melihat wajahmu, kecuali setelah kamu mendapatkan 100 ribu hadits!” (lihat, Tadzkirah Al Huffadz, Ad Dzahabi, 1/317).
Tidak jauh bereda antara ulama klasik dan ulama kontemporer, Syeikh Badru Al Alim, Muhadits India, yang ikut memberi ta’liq (komentar) kepada Faidhu Al Bari, syarah (penjelasan) dari Shohih Al Bukhari, yang ditulis oleh Al Muhadits Anwar Syah Al Kashmiri, juga mempersiapkan pendidikan anak-anaknya dengan baik. Saat awal-awal ia bermukim di Madinah, beliau membeli kitab Al Ajwibah Al Fadhilah, yang ditulis oleh Imam Laknawi, padahal usia beliau sudah tua, dan tidak mampu lagi membaca.
Akhirnya beliau menyatakan kepada Syeikh Abu Ghuddah, muridnya”Kamu tahu bahwa aku tidak mampu lagi membacanya, akan tetapi, aku membelinya untuk kuwariskan kepada keluarga dan anak-anakku, itu lebih baik bagi mereka daripada warisan yang berupa harta”. (Lihat, Shofhat min Shabri Al Ulama, 300)
Memilih Rezeki Halal, untuk Pendidikan Anak
Para ulama tidak hanya mewariskan harta untuk pendidikan anak-anak mereka, akan mereka juga menjaga agar harta yang diberikan kepada anak-anak mereka adalah harta yang bersih syubhat dan halal. Karena, bersih tidaknya harta juga mempengaruhi bersih tidaknya ilmu yang diperoleh.
Adalah Kamal Al Ambari (513 H), penulis Nuzhah Al Auliya, yang juga seorang ulama nahwu, yang memiliki harta pas-pasan. Mendapat rumah dari warisan ayahnya, dan hanya mengandalkan sewa kedai, yang dalam sebulan cuma menghasilkan setengah dinar.
Suatu saat khalifah Al Mustadhi’ mengirimkan utusan kepadanya, dengan membawa uang 500 dinar, untuk diberikan kepadanya. Akan tetapi Al Ambari menolak. Akan tetapi utusan tersebut mengatakan, ”Kalau engkau tidak mau, berikanlah harta ini kepada anakmu”. Al Ambari menjawab,”Jika aku yang menciptakannya, maka akulah yang memberinya rezeki”
Perkataan Al Ambari menunjukkan bahwa Allah telah mengatur rizki anaknya, hingga ia tidak perlu menerima memberikan hadiyah itu kepada anaknya, yang mana ia sendiri enggan menerima harta pemberian penguasai, karena wara’ (hati-hati).
Ulama: Guru dan Sahabat Anaknya dalam Mencari Ilmu
Hal yang tidak bisa ditinggalkan dalam mendidik adalah keteladanan. Jika orang tua menginginkan anaknya mencintai ilmu, maka ia sendiri juga harus mencintai ilmu, hingga bisa menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya.
Para ulama sendiri mengajak anak-anaknya untuk bersama-sama melakukan perjalanan dan belajar dengan para ulama lain. Semisal Asad bin Al Furat (213 H), seorang murid Imam Malik, yang sudah diajak ayahnya “menjelajah” sejak ia berumur 2 tahun, untuk mencari ilmu, bersama-sama dengan pasukan Arab, menuju Qairawan, Tunis, dan belajar Al Qur’an di negeri itu, lalu meriwayatkan Al Muwatha’ dari Ibnu Ziyad. (lihat, Syajarah An Nura Az Zakiyah, 62).
Begitu pula Imam As Suyuthi (991 H), sejak berumur 3 tahun sudah dibawah ayahnya menghadiri majelis Ibnu Hajar Al Atsqalani. Wafatnya sangh ayah tidak bererti pendidikan si anak harus dilalaikan. Ayah Suyuthi sebelum wafat sudah berwashiyat kepada Kamaluddin bin Hammam, ulama masa itu untuk mendidik As Suyuthi.
Hal yang sama dilakukan oleh ayah dari Ibnu Mulaqqin, guru dari Ibnu Hajar Al Atsqalani dari Mesir. Sebelum menjadi yatim, ayahnya telah menitipkan pendidikannya kepada seoarang ulam yang bernama Syeikh Isa Al Maghribi, seorang yang biasa mentalqin (membacakan) Al Qur’an, kepada para penuntut ilmu, hingga ia lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Mulaqqin (anak pentalqin). Beliau adalah ulama yang paling banyak karyanya di zaman itu.
Imam Sam’ani (562 H), sejak berumur 4 tahun, ayahnya, Imam Abu Bakar menghadirkannya ke beberapa ulama, seperti Ali Abdu Al Ghaffar As Sairazi, Abu ‘Ala Al Qushairi, dan beberapa ulama. Lalu saat ia berumur 9 tahun, ayahnya membawanya ke Naisabur. Tidak hanya itu, setelah ia pulang ke Marwa pada umur 38 dan menikah, anaknya yang bernama Abu Mudhafar yang masih berumur 3 tahun pun ia bawa bersamanya kembali ke Naisabur dalam rangka berguru kepada beberapa ulama di sana. (lihat, Thabaqat As Syafi’iyah, As Subki, 7/180).
Imam Abu Al Waqt As Sijzi (553 H), yang disebut Imam Ad Dzahabi sebagai Syeikh Al Islam, yang juga merupakan guru Ibnu Al jauzi, sudah melakukan perjalanan mencari ilmu sejak umur 7 tahun. Ia memiliki kisah yang amat dahsyat, tatkala melakukan perjalanan mencari ilmu bersama ayahnya.
Suatu saat ia bertutur kepada salah satu muridnya Yusuf bin Ahmad As Syairazi:”Wahai anakku, aku telah melakukan perjalanan untuk menyimak As Shahih dengan berjalan bersama ayahku, dari Harat menuju Dawudi. Umurku belum ada 10 tahun. Saat melakukan perjalanan, ayahku memberiku dua batu, jika aku terlihat lelah, maka ia menyuruhku untuk melempar satu batu, lalu aku melanjutkan perjalanan. Kadang ia bertanya,”engkau sudah lelah?”, maka aku menjawab,”belum”. “Kenapa jalanmu lamban?”. Maka aku cepatkan langkahku, hingga aku tidak mempu lagi, lalu ia menggendongku”.
Suatu saat mereka berpapasan dengan rombongan petani. Dan mereka menyeru kepada ayah As Sijzi, wahai Syeikh Isa, biarkan anak ini naik kendaraan bersama kami, kita bersama-sama menuju Bushanj. Maka ayahnya mengatakan, “Aku berlindung kepada Allah, dari naik kendaraan ketika mencari hadits, akan tetapi kami memilih jalan”.
Ketika bertemu dengan Abdul Baqi Al Harawi, ia menawariku manisan, aku menjawab,”Wahai tuan, saya lebih mencintai satu juz dari Abu Jahm lebih baik daripada makan manisan”. Ia tersenyum dan mengatakan,”jika yang masuk makanan, yang keluar adalah omongan”.
Lihat, bagaimana ayah As Sijzi dalam mendidik anaknya, hingga anak yang masih kecil itu sudah memiliki kecintaan yang tinggi terhadap hadits. Dan bagaimana ayah As Sijzi, mengajari anaknya menjaga azzam, guna melawan rasa capek selam melakukan perjalanan. dengan menggunakan sarana batu.
Begitu pula banyak para ulama, disamping menjadi ayah, juga menjadi guru bagi anak-anaknya, semisal Kamal Al Ambari (077 H) memperolah hadits dari ayahnya, Tajuddin As Subki (771 H), mengambil ilmu dari ayahnya, Taqiyuddin As Subki. Bagitu pula Abu Zur’ah Al Iraqi mendapatkan ilmu dari ayahnya Hafidz Al Iraqi, hingga ia meneruskan syarah Tharhu At Tasrib yang telah disyarah Hafidz Al Iraqi sebelum wafat. Juga amat banyak periwayat hadits yang mengambil dari ayah, kakek dan seterusnya.
Begitu juga Imam As Syaukani penulis Nail Al Authar, telah membaca kitab Al Azhar, fiqih madzhab Zaidiyah dari ayahnya. Ada kisah menarik dalam hal ini, yang mencerminkan kekritisan Imam As Syaukani. Di sela-sela proses belajar dengan ayahnya, ia bertanya: “Ayah mengatakan, ini madzhab Hanafi, ini madzhab Fulani, mana yang benar dari pendapat-pendapat ini?” Ayahnya menjawab: “yang benar adalah pendapat yang dirajihkan Imam Al Hadi”. Imam As Syaukani pun menanggapi:”Tidak mungkin ijtihad Imam Al Hadi benar semua, pasti ada yang salah. Maka, bagaimana kita tahu pendapat itu benar?” Akhirnya ayah Syaukani membawanya berguru kepada beberapa ulama di Yaman.
Selalu memantau hasil belajar anak
Tidak hanya mengajar atau memilih guru yang baik. Akan tetapi para ulama juga memantau hasil belajar si anak. Simak penuturan Tajuddin As Subki (771H):”Aku jika datang dari seoarang syeikh, maka ayahku (Taqiyuddin As Subki) berkata kepadaku,”tunjukkan apa yang telah kamu peroleh, yang kamu baca dan yang kamu dengar”. Maka, aku menerangkan tentang hal-hal yang telah kuperoleh dalam majelis. Jika aku pulang dari Ad Dzahabi, ia berkata,”tunjukkan yang telah engkau dapat dari syeikhmu”. Jika aku pulang dari Syeikh Najmuddin Al Qahfazi, ia mengatakan,”yang kau dapat dari masjid Thingkiz”. Jika aku pulang dari Syeikh Syamsuddin Ibnu Naqib, maka ia mengatakan,”yang kamu dapati dari Syamiyah”. Jika aku pulang dari Syeikh Abu Abbas Al Andarsy, ia mengatakan, ”yang kau dapati dari masjid”. Jika aku pulang dari Hafidz Al Mizzi, ia mengatakan,”yang kamu peroleh dari As Syeikh”. Ia melafadzkan kata As Syeikh dengan fashih, dan meninggikan suaranya. Aku mengerti, bahwa itu bertujuan agar aku juga ikut merasakan kebesaran nama Al Mizzi, hingga aku lebih banyak mendatangi majelisnya”. (lihat, Thabaqat As Syafi’iyah, As Subki, 10/399).
Hasilnya, tidak diragukan lagi. Tajuddin As Subki menjadi ulama yang cukup diperhitungkan, khususnya di kalangan muhaditsin dan madzhab As Syafi’i. Sehingga Al Mizzi menginginkan murid-muridnya mencatat As Subki dalam kelompok ulama thabaqat ulya (tingkatan tertinggi), begitu juga Imam Ad Dzahabi, menginginkan hal yang sama, walau usia As Subki masih relatif muda, Ad Dzahabi menilainya sebagai muhadits jayyid (baik). Akan tetapi orang tuanya, Taqiyuddin memprotes, cukup thabaqat pemula. Akan tetapi para gurunya juga tidak terima. Akhirnya As Subki dimasukkan thabaqat wustha (tingkatan pertengahan).
Secara tidak langsung, Taqiyuddin mengajari anaknya, Tajuddin, agar senantiasa rendah hati, walau ilmunya sudah hamper setara dengan para gurunya.
--
from: www.pks-arabsaudi.org
dari : sahabatku ahmad mujahidin