Perasaan Merasa Berdosa
Induk Kemaksiatan
Imam Ibnu Qoyyim rohimahulloh berkata: "Induk semua kemaksiatan, baik kecil ataupun besar ada tiga (3), yaitu;
Pertama: keterikatan hati kepada selain Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang tidak lain adalah syirik.
Kedua: menuruti dorongan emosi, yaitu dzolim.
Ketiga: menuruti kekuatan syahwat, yang tidak lain adalah berzina.
Target akhir keterkaitan hati dengan selain Alloh Subhanahu wa Ta’ala adalah syirik dan mengklaim ada tuhan baru selain Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Target akhir menuruti dorongan emosi adalah membunuh. Dan target akhir menuruti kekuatan syahwat adalah zina. Ketiga hal itu disebutkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala secaara bersamaan di ayat berikut:
وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا
"Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Alloh dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Alloh (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya)". (QS. Al Furqoon [25]: 68)
(lihat Al-Fawaid: 106)
Ketiga induk kemaksiatan tadi punya banyak cabang yang tidak diketahui mayoritas manusia dan mereka yang tidak menyadari itu dosa yang wajib ditinggalkan. Diantara manusia ada orang yang perasaannya terhadap dosa telah mati, bahkan terhadap dosa-dosa yang besar sekalipun. Ia sama sekali tidak menganggap dosa besar sebagai dosa besar. Itulah hati yang telah ditutup dengan sumbatan. Akibatnya hati tidak punya nurani dan perasaannya mati, hingga tidak merasakan apa-apa.
Akrab Dengan Kemungkaran
Barangkali, sebab utama problem tidak merasa berdosa pada orang tertentu adalah karena akrab dengan kemungkaran, sebab terlalu sering dikerjakan. Hal ini sama seperti dengan keakraban kita dengan makhluk-makhluk Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang besar, seperti langit, apa saja yang ada di dalamnya, bumi beserta apa saja yang ada di atasnya, sebab kita sering melihatnya. Kita merasa heran saat mendengar seseorang mendarat di bulan. Kita juga langsung heran ketika ada temuan-temuan baru. Tapi kita lupa pada sesuatu yang lebih hebat dari temuan-temuan manusia, sebab kita terbiasa melihat makhluk-makhluk Alloh Subhanahu wa Ta’ala itu. Dosa-dosa juga seperti itu, jika terlalu sering dikerjakan. Hati akan menjadi akrab dengannya dan tidak lagi memungkirinya. Inilah yang paling ditakutkan Abu Hasan Az-Zayyat rohimahulloh, ia berkata: "Demi Alloh Subhanahu wa Ta’ala, aku tidak peduli dengan banyaknya kemungkaran dan dosa. Yang paling aku takutkan adalah keakraban hati dengan kemungkaran dan dosa. Sebab, jika sesuatu dikerjakan dengan rutin, maka jiwa akan menjadi akrab dengannya dan jika jiwa telah akrab dengan sesuatu maka jiwa jarang tidak terpengarunh dengannya". (lihat Tabih Ghofilin: 93)
Tidak merasa dihukum Alloh Subhanahu wa Ta’ala
Yang lebih berbahaya dari sikap akrab dengan kemungkaran adalah sikap tidak peduli dengan hukuman, hingga sampai taraf tidak merasa apa yang dialami sekarang sejati hukuman atas dosa yang telah dikerjakan. Mari kita dengar menuturkan Ibnu Al-jauzi rohimahulloh tentang orang yang sampai pada tahap ini: "Ketahuilah, ujian paling besar adalah merasa aman, tidak mendapatkan siksa setelah mengerjakan dosa. Bisa jadi, hukuman datang belakangan. Hukuman paling berat adalah seorang tidak merasakan hukuman itu, lalu hukuman merenggut agama, memberanguskan hati, dan jiwa tidak punya kemampuan memilih dengan baik. Diantara efek hukuman ini adalah tubuh segar bugar dan seluruh keinginan tercapai". (lihat Ahidu Al-Khotir: 169).
Contoh lain adalah seorang sudah sekian lama tidak mengerjakan sholat shubuh berjama'ah dan ia menganggap biasa dosa ini. Ia merasa hatinya tidak sakit dan tahan bantingan menghadapi derita dosa ini. Padahal, generasi pertama Islam mengunjungi sebagian dari mereka yang tidak sholat shubuh. Barangsiapa sampai taraf tidak merasa mendapatkan hukuman dosa, kondisinya mengkhawatirkan. Sebab bisa jadi itu cikal bakal 'kejatuhan' dirinya dan bukan mustahil ia kembali kejalan kesesatan. Menurut Ibnu Qoyyim rohimahulloh, itulah 'pembunuhan'. Lebih lengkapnya Ibnu Qoyyim berkata: "Dosa itu luka dan bisa jadi menyebabkan kematian". (lihat Al-Fwaid: 54).
Generasi Shohabat Khawatir Kebaikan Mereka Tidak Diterima Alloh Subhanahu wa Ta’ala
Ada aspek lain yang amat diperhatikan generasi pertama Islam dan jarang diantara kita yang sampai tahap ini, yaitu khawatir kebaikan mereka tidak diterima. Al-Hasan Al-Basri berkata: "Aku pernah berjumpa dengan orang-orang yanng lebih menghindari hal-hal yang dihalalkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala dari pada upaya kalian menghindari hal-hal yang diharomkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Aku juga pernah bertemu orang-orang yang lebih takut kebaikan-kebaikan mereka tidak di terima Alloh daripada ketakutan mereka kepada kesalahan-kesalahan mereka". (lihat Shifatu Ash-Shofwah: 3/227)
Itulah generasi terbaik yang tidak akan pernah ada lagi untuk kedua kalinya. Mereka tidak seperti kita, yang hanya sholat malam beberapa roka'at dan berinfak dengan beberapa keping uang recehan, lalu mengira sudah berbuat banyak!
Hati Yang Hidup
Generasi pertama Islam adalah orang-orang yang berhati hidup, hati mereka sulit dikotori, dan cinta dunia gagal merusak perasaan berdosa yang mereka miliki. Salah seorang dari mereka selalu ingat satu dosanya selam empat puluh tahun dan merasakan dampaknya. Ubaidillah bin As-Suri meriwayatkan perkataan salah seorang generasi tabi'in, Al-Qudwah bin Sirin berkata: "Aku tahu dosa apa yang membuatku dililit hutang. Empat tahun silam, aku berkata kepada seseorang: "Hai orang bangkrut". (lihat Shifatu Ash-Shofwah: 3/246)
Tidak ada seorang pun yang sanggup ingat dosa yang telah terjadi empat puluh tahun yang silam, melainkan orang yang dosanya sedikit, lalu mampu menghitungnya. Ketika kisah tersebut diceritakan Abu Ubaidillah bin As-Suri kepada Abu Sulaiman Ad-Daroni, maka Abu Sulaiman Ad-Daroni berkata: "Orang seperti Al-Qudwah bin Sirin sedikit dosanya. Karena itu dia tahu dari mana datangnya. Sedangkan dosa-dosaku dan dosa-dosamu banyak. Oleh sebab itu, kita tidak tahu dari mana datangnya". (lihat Shifatu Ash-Shofwah: 3/246)
Begitulah, mereka selalu merasa berdosa. Bahkan mereka mengaitkan dosa mereka dengan ujian yang menimpa mereka. Ibnu Al-Jauzi rohimahulloh meriwayatkan dari salah seorang generasi salaf bahwa seseorang memaki dirinya, lalu orang salaf itu menempelkan pipinya ke tanah, sambil berkata: "Ya Alloh, ampunilah dosaku, engkau membuat orang ini berkuasa atas diriku". (lihat Shoidu Al-Khotir: 338).
Jika mereka tidak dapat melakukan aktivitas ibadah, mereka merasa itu disebabkan dosa yang telah mereka kerjakan. Abu Daud Al-Hafri berkata: "Aku masuk kerumah Kurz bin Wabiroh dan mendapatinya menangis, aku bertanya kepadanya: "Kenapa anda menangis? Kurz bin Wabiroh menjawab: "Pintuku tertutup, kehormatanku ternoda, dan tadi malam aku gagal membaca Al-Qur'an seperti biasanya. Itu semua gara-gara satu dosa yang telah aku kerjakan". (lihat Shifatu Ash-Shofwah: 3/112)
Manusia Yang Paling Hebat Ibadahnya
Orang-orang seperti tadi pantas digelari Asy-Syahid dan pakar tafsir, Sa'id bin Jubair, sebagai salah seorang yang paling hebat ibadahnya. Ketika ditanya: "Siapa manusia yang paling hebat ibadahnya?" Sa'id bin Jubair menjawab: "Orang yang merasa terluka karena dosa dan jika ia ingat dosanya maka ia memandang kecil amal perbuatannya". (lihat Az-Zuhdu: 387)
Itu orang yang hanya mengerjakan satu dosa. Bagaimana dengan orang yang tidak pernah mengerjakan satu dosa dan menangis sebab gagal beramal sholih serta menduga itu disebabkan dosa yang telah dikerjakannya? Bagaimana mungkin dai yang berhati keras dapat disejajarkan dengan mereka? Pantaskah dalam kondisi hati keras itu kita meminta kemenangan atas kebathilan?
dari : sahabatku Miea Sumiyanti