Pembaharuan Syari'ah ala Na'im: Sebuah Kritik
Prolog
Salah satu pemikir yang rajin mengemukakan gagasan pembaharuan dalam Syari'at Islam adalah Abdullahi Ahmed An-Na'im. Pemikir asal Sudan yang kini bermukim di Amerika ini rajin memasarkan nilai-nilai Barat (HAM, Hukum Internasional, dsb) ke dunia Islam. Baginya, Syari'ah Islam telah gagal berdialog dengan masyarakat modern. Karena itu, perlu dibaharui. Sebenarnya apa yang Na'im lakukan? Mari kita lihat!
Abdullahi Ahmed an-Na'im
Bagaimana Cara Naim Memperbarui Syariat Islam?
Pertama-tama, Na'im menjadikan diterapkannya nilai-nilai dan budaya Barat sebagai Maqasid
as-Syari'ah, sebab baginya ia bersifat universal. Di sini Na'im menggeser peran teks sebagai 'wasilah' yang mengandung 'tujuan syari'ah (maqasid as-Syari'ah) kepada budaya Barat. Maksudnya, jika ingin menemukan 'tujuan syari'ah', harus dicari pada budaya Barat.
Cara pandang seperti inilah yang oleh 'Abdul Majid al-Najjar dilihat sebagai akar kesalahan kaum liberalis, sebab memisahkan antara maqsad (objektif) dan syara' yang menjadi wasilah kepada tujuan (objektif) itu. Padahal, dua hal itu tidak boleh dipahami secara terpisah, karena Maqasid as-Syari'ah itu ada pada syara', haythuma wujida al-Shar'a fa thamma al-maslahah (baca: Yusuf al-Qardawi).
Na'im dalam bukunya, Toward an Islamic Reformation juga mengatakan syari'ah yang selama ini kita kenal dan terapkan hanyalah produk interpretasi ulama Muslim di tiga abad pertama Islam; terikat oleh ruang dan waktu. Oleh karena itu, bagi Na'im syari'ah itu bukan wahyu itu sendiri, bukan produk Tuhan. Sehingga ia bersifat relatif; tidak memiliki unsur Ketuhanan, tidak abadi dan tidak mengikat.
Tentu, pandangan relativistik Na'im terhadap syari'ah tidak tepat. Sebab, syari'ah adalah an nushush al muqaddsah dari al-Qur’an dan Sunnah yang mutawatir yang sama sekali belum tercampuri oleh pemikiran manusia.
Dalam wujud seperti ini, syari’ah disebut at thariqoh al mustaqimah (jalan/cara yang lurus). Ini sejalan dengan pendapat Ibn Athir, yaitu bahwa syari'ah merupakan ketentuan agama yang diwajibkan Allah ke atas hamba-Nya (baca: Yusuf Hamid al-'Alim). Oleh sebab itu, syari'ah Islam itu tidak akan pernah berubah, sebab ia langsung dari Allah swt (cermati A1-Ma'idah: 15-16). Yang berubah hanya ushlub (metodologi) pengajaran dan dakwah (baca: Yusuf al-Qaradhawi dan Sayyid Qutub).
Selain itu, pandangan bahwa Syari'ah hanya produk pemikiran manusia dapat menimbulkan implikasi keagamaan yang cukup besar. Sebab, ia akan selalu digugat untuk dinegosiasikan dengan konteks ruang dan waktu. Bahkan, hal itu juga akan menegasikan kesakralan agama Islam itu sendiri, melonggarkan ikatan religiusitas manusia, yang akan berakhir dengan rendahnya tingkat kepatuhan manusia untuk menjalankan tuntutan syari'ah-nya. Di sini, Na'im sungguh telah merendahkan Islam sebagai Agama rekayasa manusia.
Nalar Publik: Satu-satunya Instrumen Tasyri'
Sebagai ganti syari'ah, Na'im mengusulkan, syari'ah yang akan dijadikan hukum publik atau perundang-undangan harus senantiasa diuji dalam Nalar Publik (public reason). Yaitu sebuah ruang dialog dan debat yang berakar pada Civil Society. Di sanalah maksud, alasan dan tujuan suatu syari'ah diuji dan diperdebatkan oleh masyarakat luas.
Namun sayang, bagaimanapun syari'ah seperti yang saat ini ada tetap ia tolak. Sebab bertentangan dengan nilai-nilai dan budaya Barat, ujarnya, sebagaimana ia tulis dalam bukunya, Islam and The Secular State.
Padahal, konsep Na'im tentang nalar publik itu sendiri masih sangat debatable. Dominasi kekuasaan, finansial dan media massa, konflik kepentingan, dan perbedaan level ilmu pengetahuan masyarakat menjadi kendala yang tak terhindarkan. Apalagi, semuanya hanya dibangun di atas pertimbangan suka atau tidak. Bisa jadi, pagi disetujui siang sudah dianulir.
Epilog
Uraian singkat ini menunjukkan bahwa Na'im gagal membedakan antara teks dan tafsir, wahyu dan pikiran manusia. Makanya, ia tidak sedang melakukan pembaharuan Syari'ah Islam, tapi sedang memasarkan paham-paham yang lahir dari perut Barat Modern dan Post-Modern; kebebasan (liberalisme), relativisme, dan hedonisme. Jadi, bukan Islam yang sedang ia perjuangkan, tapi paham-paham Barat yang hari ini sedang berkuasa.
..............................................................................
Dimuat dalam: Koran Republika, Kamis, 17 Juni 2010 (hlm. 6); Bisa juga dilihat di: http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=99%3Apembaharuan-syariah-ala-naim&catid=17%3Apemikiran-liberal&Itemid=15 & http://bataviase.co.id/node/255974
...............................................................................
"Ya Allah, 'Allimna 'ilman yanfa'una wanfa'na bima 'allamtana innaka anta al-'alimulhakim.."
(dari : sahabatku Asmu'i Marto)
.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄
Berikut ini adalah hasil diskusi sahabatku Asmu'i dengan beberapa orang :
Mohammad Suud Ibnu Aqil
Perlu dibedakan antara syariah yang universal dengan fikih yang partikular..yang digugat al-Na'im adalah fikih....bagaimanapun fikih, sampai kapanpun akan menyesuaikan dengan konteks ruang waktu
Asmu'i Marto
@Mohammad Suud Ibnu Aqil: Na'im tidak mau membedakan antar Syari'ah dan Fikih. Baginya, dua hal itu sama2 sebagai produk pemikiran. Namun demikian, Na'im tidak mau menyebut proyek yang digagasnya berada pada kawasan Fikih. Ia lebih suka menempatkannya pada wilayah Syari'ah.
.................
Lagi pula, TIDAK TEPAT men-generalisir bahwa ranah fiqhiyyah itu semuanya partikular. Sebab bagaimana pun, fiqh itu berkaitan erat dengan syari'at. Ia bukan hasil rekayasa para fuqaha'. Sebab, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Asmandi, bahwa fiqh adalah "al-ahkam al-mustafadah bi al-syar' la al-ahkam al-mudrikah bi al-'aql (baca: Badhl al-Nazar fi al Usul).
Karena itu, Umar Sulayman al-Ashqar menegaskan bahwa adakalanya fiqh bisa menjadi syari'ah, yaitu ketika ijtihad sesuai dengan ketetapan Allah SWT. Tapi adakalanya ijtihad juga salah, maka ketika itu fiqh teteplah fiqh, tidak berubah menjadi syari'ah. Untuk hal ini kita juga harus memahami bahwa tidak semua masalah fiqhiyyah masuk kategori berubah, sebut saja misalnya masalah wajibnya shalat, zakat, puasa, dan haji. Begitu juga dengan haramnya zina, mencuri, dan membunuh. Semua ini berada dalam wilayah fiqh, tapi sudah menjadi bagian syari'ah, karenanya ia bersifat permanen (baca: Tarikh al-Fiqh al-Islami).
Mohammad Suud Ibnu Aqil
Dalam bukunya "Azmah al-fikr al-Arabi wa al-Islami", Rif'at Sa'id mengatakan bahwa syariah adalah murni dari Tuhan yang bersifat absolut karena tidak ada interversi nalar manusia di dalamnya. Smentara fikih adalah tafsir manusia terhadap kalam Tuhan, maka ia bersifat nisbi. Kontradiksi tidak ada dalam syariat dan ada dalam fikih (pembacaan mujtahid), begitulah Syatibi katakan dalam muwafaqatnya.
Syariah adalah syariah, fikih adalah fikih, tidak bisa dicampur adukkan. Jika kita katakan bahwa segala sesuatu yang berada dalam ranah ijtihadiyah adalah fikih, maka benar atau salah ia tetap fikih karena hasil ijtihad manusia (al-mushawwibah mengatakan bahwa kullu mujtahidin mushib)
Okelah ada beberapa ketetapan yang sifatnya permanen yang kita anggap sebagai syariat, seperti hukum wajib shlat, zakat, dan sebagainya, namun beberapa hal terkait dengan tetek bengik di dalamnya termasuk syarat-syarat penerapannya adalah sesuatu yang berada dalam ranah perdebatan. Shalat dan zakat adalah ketetapan yang bersifat permanen, namun dalam penerapannya tetap mempertimbangkan syarat-syarat yg mengitarinya.
Kita temukan bagaimana ulama berdebat dalam persoalan fikih. Maka dalam menerapkan fikih perlu ada uji coba materi atau didialogkan dalam nalar publik sehingga benar-benar mencapai kemaslahatan dan tidak berbenturan dengan budaya setempat.
Jika menerapkan yang permanen saja perlu dengan uji coba nalar publik, apalagi yang tidak permanen.
Syariat diterapkan harus menyesuaikan diri dengan wacana-wacana kekinian semisal HAM, demokrasi, dan hukum internasional dengan harapan penerapan syariat benar-benar mencapai kemaslahatan manusia; tidak kontraproduktif
Asmu'i Marto
@Mohammad Suud Ibnu Aqil:
1). Ana sepakat bahwa fiqh bukanlah syari'ah. Cakupan syari'ah lebih luas dari sekedar hukum. Selain itu, ciri utama syari'ah adalah sifatnya yang permanen. Beda halnya dengan fiqh yang bersifat relatif dan fleksibel. Dimana ia bisa berubah sesuai dengan peredaran waktu, sebab ia merupakan hasil ijtihad 'ulama, terkadang sesuai dengan dalil juga kondisi nyata yang berlaku di tengah masyarakat. NAMUN DEMIKIAN, bukan berarti bahwa fiqh itu karya pemikiran semata, karena ia berkait erat dengan syari'at. Ia bukan hasil rekayasa para fuqaha'.
2). Selain itu, TIDAK TEPAT melihat hubungan antara "fikih" dan "syari'ah" sebagai hubungan "pencampur-adukan". Sebab di antara keduanya memang sangat berkaitan, tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain, seperti yang sudah ana jelasin di atas. Di sini Anda terkesan terlalu memaksakan diri untuk memisahkannya. Dalam hal itu Anda terjebak dalam cara pandang Dichotomis, yang merupakan ciri khas Barat Modern.
3). Generalisir bahwa fikih harus didialogkan dengan nalar publik tetap SATU KEKELIRUAN. Bahkan fatal. Sebab "masalah2 fiqhiyyah" tidak lepas dari Prinsip Syari'ah, bukan pada nalar publik semata. Selain itu, Anda tahu "apa" itu nalar publik? Apakah definisi dan pemahaman Anda tentang Nalar Publik sama dengan definisi dan pemahaman pemikir-pemikir Liberal itu?
Tidak semestinya kita asal comot terhadap "istilah-istilah" yang datang dari Barat. Sebab "istilah" itu sejatinya adalah konsep-konsep Barat Modern dan Post-Modern, yang tentu sebagai representasi dari nilai-nilai dan pandangan hidup mereka.
Bukan bermaksud "alergi" terhadap apa saja yang datang dari Barat, tapi hendaknya kita lihat dulu, sesuai atau tidak dengan Islamic Worldview.
4). Generalisasi Anda juga mengesankan bahwa "Mashlahah" itu ada pada "nalar publik dan budaya masyarakat", tidak terkandung dalam "teks", bukan pada syari'ah Islam. Untuk itu, perjelas dulu, Anda sedang berbicara apa? Apa yang bisa didialogkan, dan apa yang tidak dapat?
Jika tidak, Anda terjebak pada cara pandang orang-orang liberal, yaitu gagasan meletakkan ajaran agama dalam dinamika sejarah, yang akan terus berkembang sesuai perkembangan waktu dan tempat yang membentuk sejarah. Tidak ada dan tidak boleh ada yang tsawabit (tetap) dalam ajaran agama, semuanya mutghayyirat (berubah). Walhasil, yang haq menjadi 'seolah-olah' bathil, yang bathil menjadi 'seakan-akan' haq. Na'udzubillahi min dzalik.
5). Secara umum, terdapat KETIDAK KONSISTENAN dalam komentar Anda di atas.
Di satu sisi Anda mengakui bahwa "syariah adalah murni dari Tuhan yang bersifat absolut karena tidak ada interversi nalar manusia di dalamnya." Artinya bersifata permanen. Namun di akhir tulisan Anda mengatakan bahwa penerapan syari'ah harus menyesuaikan dengan wacana-wacana kekinian semisal HAM, demokrasi, dan hukum internasional dengan harapan penerapan syariat benar-benar mencapai kemaslahatan manusia; tidak kontraproduktif.
Padahal sebelumnya Anda menegaskan bahwa dialektika dengan kondisi itu hanya dimiliki oleh perkara2 fiqhiyyah, bukan syari'ah.
Pertanyaannya: (a). Anda sedang berbicara fikih atau syari'ah? (b). Mengapa "tiba-tiba" Anda menjadikan nilai-nilai masyarakat Barat hari ini sebagai sesuatu yang universal dan permanen???
Walhasil, Anda GAGAL "membedakan" dan "melihat hubungan" antara "fikih" dan "syari'ah".
Catatan:
Ana sudah menjelaskan masalah2 tersebut dalam "note" dan "respon-respon" di atas.
Mohammad Suud Ibnu Aqil
Saya tak memandang syariat dan fikih secara dikotomis, saya hanya menegaskan karakter dan wilayah masing2 dari keduanya. Saya juga akui bahwa fikih bukan nalar pikir manusia mutlak, ada sisi ilahiliyah di dalamnya karena ia adalah tafsir terhadap kalam Tuhan. Jika kita baca perdebatan ulama klasik, persoalan-persoalan permanen juga diperdebatkan terkait penerapannya dalam konteks dan situasi tertentu, kemaslahatan, dan kebutuhan ummat. Ada dialog dialektis di sana, tidak berjalan datar sebagaimana asumsi kaum kolot selama ini. Saya tidak mengagungkan barat, tapi saya lagi kecewa pada dunia muslim saat ini yg hanya terjebak pada penerapan yg mereka anggap syariat namun kering nilai, tidak mampu menyuguhkan maqhasid. Klo kita baca "maqhasid syariah" karya ibnu asyur, akan kita temukan bahwa kebebasan dan toleransi bermazhab adalah bagian dari maqhasid syariah. Tapi nyatanya, barat lebih mampu menyuguhkan itu. Benar yg dikatakan abduh dan iqbal, "saya menemukan muslim di timur, tapi tak temukan islam di sana. Saya tak temukan muslim di barat, tapi saya temukan islam di sana"
Asmu'i Marto
@Mohammad Suud Ibnu Aqil:
1). Tidak hanya Anda, kita semua prihatin dengan keadaan umat dan Peradaban Islam. Namun itu tidak tidak boleh menjadikan kita "lepas kontrol" dan menggunakan apa saja yang datang dari luar tanpa melalui proses kajian dan penyesuaian terlebih dulu. Dalam kaitannya dengan respon terhadap kemajuan Barat dan cara kita menyongsong kemajuan,
setidaknya ada empat tipe utama umat Islam:
(a). Kalangan Muslim awam yang meyakini bahwa Barat adalah simbol kemajuan teknologi, sistim pendidikan, ekonomi, tatanan sosial dan politik, disiplin, industri hiburan dan simbol-simbol kebudayaan lainnya. Karena itu segala yang berasal dari Barat diterima sebagai standar untuk menentukan kemajuan.
(b). Kalangan terpelajar yang menganggap Barat adalah simbok kecanggihan metodologi penelitian dan pengkajian. Kajian filsafat dan ilmu-ilmu humaniora lainnya diambil sebagai model bagi segala macam ilmu, termasuk ilmu keagamaan Islam. Kelompok ini pada umumnya menganggap ILMU ITU NETRAL dan oleh karenanya mengambil ilmu apapun dari Barat tidak ada masalah asal membawa "kemajuan". Kedua kelompok ini (a & b) oleh Cheryl Bernard disebut Muslim Modernis dan Sekuler (baca: Civil Democratic Islam, Partners, Resources and Strategies; U.S. Strategy in the Muslim World After 9/11; The Muslim World After 9/11; dan Three Years After: Next Steps in the War on Terror).
(c). Kelompok yang melihat Barat sebagai bangsa penjajah yang harus dimusuhi. Segala sesuatu yang berasal dari Barat harus ditolak.
(d). Kelompok yang melihat Barat secara kritis dan obyektif, yaitu bahwa Barat adalah peradaban asing yang berbeda dari Islam dalam banyak hal. Tidak semua yang datang itu baik, dan tidak pula semuanya buruk. Barat perlu dilihat secara cermat berdasarkan kajian yang serius dan dimulai dari akar-akarnya. Oleh sebab itu, kelompok ini tidak melihat Barat secara berlebihan, tidak apresiatif secara gelap mata, dan tidak juga membenci secara membabi buta.
2). Ulama Islam Klasik itu banyak, yang masing-masing masuk dalam ragam Manhaj Akidah dan lainnya. Untuk itu, jika ingin menjadikan seorang ulama sebagai panutan, kita harus tahu dulu Manhaj Akidahnya, sebab itu masalah pokok. Berikutnya, dalam masalah permanen yang Anda maksud, pastikan dulu "apa" itu dan siapa yang membicarakannya?
Jika tidak memperhatikan ini, laksana masuk ke hutan belantara, kita hanya akan "memungut" apa yang kita lihat paling dekat dengan kita tanpa tahu "apa dan bagaimana" itu.
3). "Maslahah atau Maqasidu as-Syari'ah" adalah sesuatu yang sangat urgen dalam ber-Islam. Namun sayang, atas nama keduanya, orang-orang liberal malah meninggalkan teks dan menuhankan "realita sosial".
Secara garis besar, hal ini telah ana singgung dalam "note" di atas.
4). Baiklah, agar yang ana maksud lebih mudah dipahami, ana ambil satu contoh ungkapan Anda terakhir yang "debatable."
....................
Anda mengatakan:"....Kebebasan dan Toleransi bermazhab adalah bagian dari Maqasid Syari'ah. Tapi nyatanya, Barat lebih mampu menyuguhkan itu."
Fokus kita pada kata "kebebasan dan toleransi" dan "Barat lebih mampu menyuguhkan itu".
Pertanyaannya: Kebebasan seperti apa yang Anda maksud? Tapi berdasarkan ungkapan terakhir Anda, sepertinya yang Anda maksud adalah kebebasan dan toleransi ala Barat. Padahal istilah "kebebasan dan toleransi" di Barat bermakna:
1. Bebas dari Tuhan.
2. Bebas dan toleransi terhadap perbuatan Lesbian.
3. Bebas dan toleransi terhadap perbuatan Homo seksual.
4. dan kebebasan-kebebasan lain yang semua itu hanya bentuk-bentuk dari pemuasan syahwat manusiawi belaka.
Ana tidak menafikan bahwa dalam beberapa aspek bisa kita ambil, namun ana hanya ingin menekankan bahwa jika kita menyebut istilah "kebebasan" ala Barat, maka itu pada hakikatnya adalah sebuah konsep baku yang didalamnya mengandung nilai-nilai dan cara pandang Barat hari ini.
Pertanyaan selanjutnya, apakah dalam Islam tidak ada konsep "kebebasan dan toleransi", khususnya dalam bermazhab? Jawabannya tentu ada. Para Fuqaha kita telah dengan baik menunjukkan itu. Di sini kita harus mampu membedakan antara "apa" yang seharusnya dan telah dicontohkan oleh para ulama yang tulus, ikhlas semata2 karena Allah swt dengan "apa" yang belakangan diperagakan oleh sejumlah "oknum" atas nama Islam yang bertentangan dengan itu.
Singkatnya, mari kita kaji lagi secara mendalam Khazana Islam. Peradaban ini telah menunjukkan keperkasaannya selama kurang lebih 7 abad lamanya. Sedangkan Barat baru sekitar 2 abad terakhir. Itupun dengan berbagai krisis yang hingga kini tak kunjung usai. Ana tidak hanya bermaksud "bernostalgia" belaka, tapi memang kenyataannya, TIDAK ADA SATU PERADABAN PUN YANG AKAN MAJU MANAKALA ORANG-ORANG DI DALAMNYA TIDAK LAGI BANGGA DENGANNYA.
Terakhir,.....
Dulu, saat jalan-jalan di Barat itu masih "becek dan licin", di negeri-negeri Islam telah "mulus dan ber-aspal". Mari....!!!
Imam Syadili
Ustadz Asmu'e n Bang Su'ud.
sejauh yang saya kethui, ada dua pendapat tntang definisi Syariat.
1. syariat adalah segala ajaran agama.
2. syariat dmaksudkan sebagai Hkum Fikih. (maka ada yg namanya kuliah syariat, yang sebenarnya konsentrasi pada pelajaran fiqih).
bisanya keduanya digunkan sesuai dengan konteks
jika syariat diartikan sebagai hal yang universal -sebagaimana poin satu- maka, dibawahnya ada fiqih, akhlak, dan aqidah dl.
membaca tulisan Ustad Asmu'i di atas, saya lebih condong syariat disini bermakna Fiqih (Partikular), atau atuan yuridis manusia yang diambil dri Nash.
Prlu sya teknkan, bahwa Syriat tidak muqaddas. ia tidak terlepas dari kekliruan, krena sudah bercampur dengan akal manusia. yang muqaddas ialah Nash yang masih orsnil.
Disini, saya melihat kesimpulan ustad Asmu'e keliru, bahwa syariah adalah Nusuhs Muqaddasah. sebagaimana pragraf ke 5. dan, saya lebih setuju dengan pendapat Na'im bahwa syriat bersifat rlatif. mungkin hal ini juga yang dimksud baginda Nabi "barang siapa yang berijtihad dan benar mka dapat dua pahala, dan jika salah dapat satu pahala."
orang Sudan seperti Na'im sudah biasa menggunakan lafadz syariat dengan arti fiqih sebagaimana orang arab lainya.
HAl Lain, sangat fatal menuduh orng sebelum tabayun (mncari penjlasan kebenaranya). misalnya mengatakan "pemabuk" atau "pezina" pada orang tanpa mengetahui fakta sejelas jelasnya.
Bang Su'ud, memang kita perlu banyak belajar. jika ingin mengkritik maqashid syari'ah, setidaknya baca muwafaqot karya Sytibi, sebagai pncetus maqasid syariah. selanjutnya, ya kitab pusaka anda, "maqashid syari'ah" karya Ibnu Asyur, penerus Syatibi. agar tulisan kita tidak kering.
Gus Fa
Mohammad Suud Ibnu Aqil dan Imam Syadili: Perdebtan yang luar biasa, namun kita harus bisa melihat hal tersebut melalui kaca mata dan tashawwur islami seperti halnya ungkapanya "Sayyid Kutb". secara pribadi Saya sependapat dengan akh asmu'i, bahwa saya melihat tantangan berat yang dihadapi oleh umat Islam, kini dan akan datang. Faktanya, bukan hanya ilmu-ilmu sains dan teknologi yang terhegemoni oleh Barat. Tapi, ilmu-ilmu keislaman pun sudah terhegemoni. Melalui pusat-pusat studi Islam di Barat, para orientalis, dulu dan sekarang, sangat aktif melakukan kajian keislaman dan mendidik sarjana-sarjana Muslim menjadi kader-kader mereka. Banyak yang mampu bersikap kritis terhadap kajian orientalis. Tetatpi, sangat tidak sedikit yang silau dan terpukau dengan institusi studi Islam dan kehebatan para orientalis, sehingga seorang kandidat doktor studi Islam di AS ada yang menyatakan, bahwa studi Islam terbaik di dunia saat ini adalah di Amerika. Kata dia, studi Islam di Barat didasarkan pada ”kajian kritis”, bukan ”berdasar atas keimanan” (based on faith). Karena itulah, katanya, kajian Islam di Barat lebih berkembang ketimbang di dunia Islam. Sebab, kajian mereka bersifat objektif ilmiah.
Maklum, para orientalis yang melakukan studi Islam, sangat jarang yang kemudian beriman dengan yang mereka kaji. Ilmu dipisahkan dari iman dan amal. Inilah yang mereka katakan sebagai model kajian objektif ilmiah. Kaum Muslim yang mengkaji agama-agama lain dalam perspektif al-Quran langsung dimasukkan kotak: subjektif tidak ilmiah. Begitu juga jika seorang mengkaji al-Quran, tetapi sudah mengimani dan mensucikan al-Quran, langsung dimasukkan dalam kategori ”subjektif-ideologis”. Kata mereka, kajian Islam harus netral dari keberpihakan ideologis. Ketika mengkaji al-Quran, mahasiswa diminta ”melepaskan keimanannya” dan mengkaji al-Quran secara objektif. Itu yang dikatakan objektif ilmiah dan kajian kritis. Meskipun, biasanya, sikap kritis itu hanya ditujukan kepada para ulama Islam, bukan kepada ilmuwan-ilmuwan Barat. Sungguh sangat ironis meliahat realitas yang ada yang terbalik. Akumulasinya ternyata jiwa seorang muslim kini hanya kedok semata. Sisanya..silahkan interpretasikan sendiri...saya tidak tega untuk mengulaskanya..saya khawatir anda munkin yang terjebak dalam gemerlapnya dunia barat yang bersifat fatamorgana..
Asmu'i Marto
@Akhi Imam Syadili:
1). Masalah Na'im yang minum bir bukan tuduhan.
Jum... See more’at, 27 Juli 2007 yang lalu, penerbit Mizan mengadakan diskusi dan bedah buku “Islam dan Negara Sekular: Menegoisasikan Masa Depan Syariah” di MP Book Point Cipete Jakarta dengan menghadirkan penulisnya, Abdullah Ahmed An-Naim (Sudan), yang saat ini menjabat sebagai Professor of Law, Emory University, Atlanta, Georgia, U.S.A. Di samping itu, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Ed, M.Phil (Presiden Direktur INSISTS) diundang sebagai pembedah utama dan dua pembedah lainnya dari majalah Sabili dan Hizbut Tahrir.
Na'im menunjukkan itu ketika jamuan malam di hotel tempat dia menginap. Bisa dikonfirmasi ke Prof. Dr. Amany Burhanuddin Lubis.
2). Masalah pandangan akhi Syadili tentang "syari'ah, fikih dan cara memahaminya" dipengaruhi oleh cara fikir "relativis" dan skeptis. Cara fikir ini adalah ciri Khas Barat Post-Modernisme, yang kelahirannya didahului oleh paham Nihilisme.
**********************************************************************
Salah satu pemikir yang rajin mengemukakan gagasan pembaharuan dalam Syari'at Islam adalah Abdullahi Ahmed An-Na'im. Pemikir asal Sudan yang kini bermukim di Amerika ini rajin memasarkan nilai-nilai Barat (HAM, Hukum Internasional, dsb) ke dunia Islam. Baginya, Syari'ah Islam telah gagal berdialog dengan masyarakat modern. Karena itu, perlu dibaharui. Sebenarnya apa yang Na'im lakukan? Mari kita lihat!
Bagaimana Cara Naim Memperbarui Syariat Islam?
Pertama-tama, Na'im menjadikan diterapkannya nilai-nilai dan budaya Barat sebagai Maqasid
as-Syari'ah, sebab baginya ia bersifat universal. Di sini Na'im menggeser peran teks sebagai 'wasilah' yang mengandung 'tujuan syari'ah (maqasid as-Syari'ah) kepada budaya Barat. Maksudnya, jika ingin menemukan 'tujuan syari'ah', harus dicari pada budaya Barat.
Cara pandang seperti inilah yang oleh 'Abdul Majid al-Najjar dilihat sebagai akar kesalahan kaum liberalis, sebab memisahkan antara maqsad (objektif) dan syara' yang menjadi wasilah kepada tujuan (objektif) itu. Padahal, dua hal itu tidak boleh dipahami secara terpisah, karena Maqasid as-Syari'ah itu ada pada syara', haythuma wujida al-Shar'a fa thamma al-maslahah (baca: Yusuf al-Qardawi).
Na'im dalam bukunya, Toward an Islamic Reformation juga mengatakan syari'ah yang selama ini kita kenal dan terapkan hanyalah produk interpretasi ulama Muslim di tiga abad pertama Islam; terikat oleh ruang dan waktu. Oleh karena itu, bagi Na'im syari'ah itu bukan wahyu itu sendiri, bukan produk Tuhan. Sehingga ia bersifat relatif; tidak memiliki unsur Ketuhanan, tidak abadi dan tidak mengikat.
Tentu, pandangan relativistik Na'im terhadap syari'ah tidak tepat. Sebab, syari'ah adalah an nushush al muqaddsah dari al-Qur’an dan Sunnah yang mutawatir yang sama sekali belum tercampuri oleh pemikiran manusia.
Dalam wujud seperti ini, syari’ah disebut at thariqoh al mustaqimah (jalan/cara yang lurus). Ini sejalan dengan pendapat Ibn Athir, yaitu bahwa syari'ah merupakan ketentuan agama yang diwajibkan Allah ke atas hamba-Nya (baca: Yusuf Hamid al-'Alim). Oleh sebab itu, syari'ah Islam itu tidak akan pernah berubah, sebab ia langsung dari Allah swt (cermati A1-Ma'idah: 15-16). Yang berubah hanya ushlub (metodologi) pengajaran dan dakwah (baca: Yusuf al-Qaradhawi dan Sayyid Qutub).
Selain itu, pandangan bahwa Syari'ah hanya produk pemikiran manusia dapat menimbulkan implikasi keagamaan yang cukup besar. Sebab, ia akan selalu digugat untuk dinegosiasikan dengan konteks ruang dan waktu. Bahkan, hal itu juga akan menegasikan kesakralan agama Islam itu sendiri, melonggarkan ikatan religiusitas manusia, yang akan berakhir dengan rendahnya tingkat kepatuhan manusia untuk menjalankan tuntutan syari'ah-nya. Di sini, Na'im sungguh telah merendahkan Islam sebagai Agama rekayasa manusia.
Nalar Publik: Satu-satunya Instrumen Tasyri'
Sebagai ganti syari'ah, Na'im mengusulkan, syari'ah yang akan dijadikan hukum publik atau perundang-undangan harus senantiasa diuji dalam Nalar Publik (public reason). Yaitu sebuah ruang dialog dan debat yang berakar pada Civil Society. Di sanalah maksud, alasan dan tujuan suatu syari'ah diuji dan diperdebatkan oleh masyarakat luas.
Namun sayang, bagaimanapun syari'ah seperti yang saat ini ada tetap ia tolak. Sebab bertentangan dengan nilai-nilai dan budaya Barat, ujarnya, sebagaimana ia tulis dalam bukunya, Islam and The Secular State.
Padahal, konsep Na'im tentang nalar publik itu sendiri masih sangat debatable. Dominasi kekuasaan, finansial dan media massa, konflik kepentingan, dan perbedaan level ilmu pengetahuan masyarakat menjadi kendala yang tak terhindarkan. Apalagi, semuanya hanya dibangun di atas pertimbangan suka atau tidak. Bisa jadi, pagi disetujui siang sudah dianulir.
Epilog
Uraian singkat ini menunjukkan bahwa Na'im gagal membedakan antara teks dan tafsir, wahyu dan pikiran manusia. Makanya, ia tidak sedang melakukan pembaharuan Syari'ah Islam, tapi sedang memasarkan paham-paham yang lahir dari perut Barat Modern dan Post-Modern; kebebasan (liberalisme), relativisme, dan hedonisme. Jadi, bukan Islam yang sedang ia perjuangkan, tapi paham-paham Barat yang hari ini sedang berkuasa.
..............................................................................
Dimuat dalam: Koran Republika, Kamis, 17 Juni 2010 (hlm. 6); Bisa juga dilihat di: http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=99%3Apembaharuan-syariah-ala-naim&catid=17%3Apemikiran-liberal&Itemid=15 & http://bataviase.co.id/node/255974
...............................................................................
"Ya Allah, 'Allimna 'ilman yanfa'una wanfa'na bima 'allamtana innaka anta al-'alimulhakim.."
(dari : sahabatku Asmu'i Marto)
.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄.▄▀▄▀▄
Berikut ini adalah hasil diskusi sahabatku Asmu'i dengan beberapa orang :
Mohammad Suud Ibnu Aqil
Perlu dibedakan antara syariah yang universal dengan fikih yang partikular..yang digugat al-Na'im adalah fikih....bagaimanapun fikih, sampai kapanpun akan menyesuaikan dengan konteks ruang waktu
Asmu'i Marto
@Mohammad Suud Ibnu Aqil: Na'im tidak mau membedakan antar Syari'ah dan Fikih. Baginya, dua hal itu sama2 sebagai produk pemikiran. Namun demikian, Na'im tidak mau menyebut proyek yang digagasnya berada pada kawasan Fikih. Ia lebih suka menempatkannya pada wilayah Syari'ah.
.................
Lagi pula, TIDAK TEPAT men-generalisir bahwa ranah fiqhiyyah itu semuanya partikular. Sebab bagaimana pun, fiqh itu berkaitan erat dengan syari'at. Ia bukan hasil rekayasa para fuqaha'. Sebab, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Asmandi, bahwa fiqh adalah "al-ahkam al-mustafadah bi al-syar' la al-ahkam al-mudrikah bi al-'aql (baca: Badhl al-Nazar fi al Usul).
Karena itu, Umar Sulayman al-Ashqar menegaskan bahwa adakalanya fiqh bisa menjadi syari'ah, yaitu ketika ijtihad sesuai dengan ketetapan Allah SWT. Tapi adakalanya ijtihad juga salah, maka ketika itu fiqh teteplah fiqh, tidak berubah menjadi syari'ah. Untuk hal ini kita juga harus memahami bahwa tidak semua masalah fiqhiyyah masuk kategori berubah, sebut saja misalnya masalah wajibnya shalat, zakat, puasa, dan haji. Begitu juga dengan haramnya zina, mencuri, dan membunuh. Semua ini berada dalam wilayah fiqh, tapi sudah menjadi bagian syari'ah, karenanya ia bersifat permanen (baca: Tarikh al-Fiqh al-Islami).
Mohammad Suud Ibnu Aqil
Dalam bukunya "Azmah al-fikr al-Arabi wa al-Islami", Rif'at Sa'id mengatakan bahwa syariah adalah murni dari Tuhan yang bersifat absolut karena tidak ada interversi nalar manusia di dalamnya. Smentara fikih adalah tafsir manusia terhadap kalam Tuhan, maka ia bersifat nisbi. Kontradiksi tidak ada dalam syariat dan ada dalam fikih (pembacaan mujtahid), begitulah Syatibi katakan dalam muwafaqatnya.
Syariah adalah syariah, fikih adalah fikih, tidak bisa dicampur adukkan. Jika kita katakan bahwa segala sesuatu yang berada dalam ranah ijtihadiyah adalah fikih, maka benar atau salah ia tetap fikih karena hasil ijtihad manusia (al-mushawwibah mengatakan bahwa kullu mujtahidin mushib)
Okelah ada beberapa ketetapan yang sifatnya permanen yang kita anggap sebagai syariat, seperti hukum wajib shlat, zakat, dan sebagainya, namun beberapa hal terkait dengan tetek bengik di dalamnya termasuk syarat-syarat penerapannya adalah sesuatu yang berada dalam ranah perdebatan. Shalat dan zakat adalah ketetapan yang bersifat permanen, namun dalam penerapannya tetap mempertimbangkan syarat-syarat yg mengitarinya.
Kita temukan bagaimana ulama berdebat dalam persoalan fikih. Maka dalam menerapkan fikih perlu ada uji coba materi atau didialogkan dalam nalar publik sehingga benar-benar mencapai kemaslahatan dan tidak berbenturan dengan budaya setempat.
Jika menerapkan yang permanen saja perlu dengan uji coba nalar publik, apalagi yang tidak permanen.
Syariat diterapkan harus menyesuaikan diri dengan wacana-wacana kekinian semisal HAM, demokrasi, dan hukum internasional dengan harapan penerapan syariat benar-benar mencapai kemaslahatan manusia; tidak kontraproduktif
Asmu'i Marto
@Mohammad Suud Ibnu Aqil:
1). Ana sepakat bahwa fiqh bukanlah syari'ah. Cakupan syari'ah lebih luas dari sekedar hukum. Selain itu, ciri utama syari'ah adalah sifatnya yang permanen. Beda halnya dengan fiqh yang bersifat relatif dan fleksibel. Dimana ia bisa berubah sesuai dengan peredaran waktu, sebab ia merupakan hasil ijtihad 'ulama, terkadang sesuai dengan dalil juga kondisi nyata yang berlaku di tengah masyarakat. NAMUN DEMIKIAN, bukan berarti bahwa fiqh itu karya pemikiran semata, karena ia berkait erat dengan syari'at. Ia bukan hasil rekayasa para fuqaha'.
2). Selain itu, TIDAK TEPAT melihat hubungan antara "fikih" dan "syari'ah" sebagai hubungan "pencampur-adukan". Sebab di antara keduanya memang sangat berkaitan, tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain, seperti yang sudah ana jelasin di atas. Di sini Anda terkesan terlalu memaksakan diri untuk memisahkannya. Dalam hal itu Anda terjebak dalam cara pandang Dichotomis, yang merupakan ciri khas Barat Modern.
3). Generalisir bahwa fikih harus didialogkan dengan nalar publik tetap SATU KEKELIRUAN. Bahkan fatal. Sebab "masalah2 fiqhiyyah" tidak lepas dari Prinsip Syari'ah, bukan pada nalar publik semata. Selain itu, Anda tahu "apa" itu nalar publik? Apakah definisi dan pemahaman Anda tentang Nalar Publik sama dengan definisi dan pemahaman pemikir-pemikir Liberal itu?
Tidak semestinya kita asal comot terhadap "istilah-istilah" yang datang dari Barat. Sebab "istilah" itu sejatinya adalah konsep-konsep Barat Modern dan Post-Modern, yang tentu sebagai representasi dari nilai-nilai dan pandangan hidup mereka.
Bukan bermaksud "alergi" terhadap apa saja yang datang dari Barat, tapi hendaknya kita lihat dulu, sesuai atau tidak dengan Islamic Worldview.
4). Generalisasi Anda juga mengesankan bahwa "Mashlahah" itu ada pada "nalar publik dan budaya masyarakat", tidak terkandung dalam "teks", bukan pada syari'ah Islam. Untuk itu, perjelas dulu, Anda sedang berbicara apa? Apa yang bisa didialogkan, dan apa yang tidak dapat?
Jika tidak, Anda terjebak pada cara pandang orang-orang liberal, yaitu gagasan meletakkan ajaran agama dalam dinamika sejarah, yang akan terus berkembang sesuai perkembangan waktu dan tempat yang membentuk sejarah. Tidak ada dan tidak boleh ada yang tsawabit (tetap) dalam ajaran agama, semuanya mutghayyirat (berubah). Walhasil, yang haq menjadi 'seolah-olah' bathil, yang bathil menjadi 'seakan-akan' haq. Na'udzubillahi min dzalik.
5). Secara umum, terdapat KETIDAK KONSISTENAN dalam komentar Anda di atas.
Di satu sisi Anda mengakui bahwa "syariah adalah murni dari Tuhan yang bersifat absolut karena tidak ada interversi nalar manusia di dalamnya." Artinya bersifata permanen. Namun di akhir tulisan Anda mengatakan bahwa penerapan syari'ah harus menyesuaikan dengan wacana-wacana kekinian semisal HAM, demokrasi, dan hukum internasional dengan harapan penerapan syariat benar-benar mencapai kemaslahatan manusia; tidak kontraproduktif.
Padahal sebelumnya Anda menegaskan bahwa dialektika dengan kondisi itu hanya dimiliki oleh perkara2 fiqhiyyah, bukan syari'ah.
Pertanyaannya: (a). Anda sedang berbicara fikih atau syari'ah? (b). Mengapa "tiba-tiba" Anda menjadikan nilai-nilai masyarakat Barat hari ini sebagai sesuatu yang universal dan permanen???
Walhasil, Anda GAGAL "membedakan" dan "melihat hubungan" antara "fikih" dan "syari'ah".
Catatan:
Ana sudah menjelaskan masalah2 tersebut dalam "note" dan "respon-respon" di atas.
Mohammad Suud Ibnu Aqil
Saya tak memandang syariat dan fikih secara dikotomis, saya hanya menegaskan karakter dan wilayah masing2 dari keduanya. Saya juga akui bahwa fikih bukan nalar pikir manusia mutlak, ada sisi ilahiliyah di dalamnya karena ia adalah tafsir terhadap kalam Tuhan. Jika kita baca perdebatan ulama klasik, persoalan-persoalan permanen juga diperdebatkan terkait penerapannya dalam konteks dan situasi tertentu, kemaslahatan, dan kebutuhan ummat. Ada dialog dialektis di sana, tidak berjalan datar sebagaimana asumsi kaum kolot selama ini. Saya tidak mengagungkan barat, tapi saya lagi kecewa pada dunia muslim saat ini yg hanya terjebak pada penerapan yg mereka anggap syariat namun kering nilai, tidak mampu menyuguhkan maqhasid. Klo kita baca "maqhasid syariah" karya ibnu asyur, akan kita temukan bahwa kebebasan dan toleransi bermazhab adalah bagian dari maqhasid syariah. Tapi nyatanya, barat lebih mampu menyuguhkan itu. Benar yg dikatakan abduh dan iqbal, "saya menemukan muslim di timur, tapi tak temukan islam di sana. Saya tak temukan muslim di barat, tapi saya temukan islam di sana"
Asmu'i Marto
@Mohammad Suud Ibnu Aqil:
1). Tidak hanya Anda, kita semua prihatin dengan keadaan umat dan Peradaban Islam. Namun itu tidak tidak boleh menjadikan kita "lepas kontrol" dan menggunakan apa saja yang datang dari luar tanpa melalui proses kajian dan penyesuaian terlebih dulu. Dalam kaitannya dengan respon terhadap kemajuan Barat dan cara kita menyongsong kemajuan,
setidaknya ada empat tipe utama umat Islam:
(a). Kalangan Muslim awam yang meyakini bahwa Barat adalah simbol kemajuan teknologi, sistim pendidikan, ekonomi, tatanan sosial dan politik, disiplin, industri hiburan dan simbol-simbol kebudayaan lainnya. Karena itu segala yang berasal dari Barat diterima sebagai standar untuk menentukan kemajuan.
(b). Kalangan terpelajar yang menganggap Barat adalah simbok kecanggihan metodologi penelitian dan pengkajian. Kajian filsafat dan ilmu-ilmu humaniora lainnya diambil sebagai model bagi segala macam ilmu, termasuk ilmu keagamaan Islam. Kelompok ini pada umumnya menganggap ILMU ITU NETRAL dan oleh karenanya mengambil ilmu apapun dari Barat tidak ada masalah asal membawa "kemajuan". Kedua kelompok ini (a & b) oleh Cheryl Bernard disebut Muslim Modernis dan Sekuler (baca: Civil Democratic Islam, Partners, Resources and Strategies; U.S. Strategy in the Muslim World After 9/11; The Muslim World After 9/11; dan Three Years After: Next Steps in the War on Terror).
(c). Kelompok yang melihat Barat sebagai bangsa penjajah yang harus dimusuhi. Segala sesuatu yang berasal dari Barat harus ditolak.
(d). Kelompok yang melihat Barat secara kritis dan obyektif, yaitu bahwa Barat adalah peradaban asing yang berbeda dari Islam dalam banyak hal. Tidak semua yang datang itu baik, dan tidak pula semuanya buruk. Barat perlu dilihat secara cermat berdasarkan kajian yang serius dan dimulai dari akar-akarnya. Oleh sebab itu, kelompok ini tidak melihat Barat secara berlebihan, tidak apresiatif secara gelap mata, dan tidak juga membenci secara membabi buta.
2). Ulama Islam Klasik itu banyak, yang masing-masing masuk dalam ragam Manhaj Akidah dan lainnya. Untuk itu, jika ingin menjadikan seorang ulama sebagai panutan, kita harus tahu dulu Manhaj Akidahnya, sebab itu masalah pokok. Berikutnya, dalam masalah permanen yang Anda maksud, pastikan dulu "apa" itu dan siapa yang membicarakannya?
Jika tidak memperhatikan ini, laksana masuk ke hutan belantara, kita hanya akan "memungut" apa yang kita lihat paling dekat dengan kita tanpa tahu "apa dan bagaimana" itu.
3). "Maslahah atau Maqasidu as-Syari'ah" adalah sesuatu yang sangat urgen dalam ber-Islam. Namun sayang, atas nama keduanya, orang-orang liberal malah meninggalkan teks dan menuhankan "realita sosial".
Secara garis besar, hal ini telah ana singgung dalam "note" di atas.
4). Baiklah, agar yang ana maksud lebih mudah dipahami, ana ambil satu contoh ungkapan Anda terakhir yang "debatable."
....................
Anda mengatakan:"....Kebebasan dan Toleransi bermazhab adalah bagian dari Maqasid Syari'ah. Tapi nyatanya, Barat lebih mampu menyuguhkan itu."
Fokus kita pada kata "kebebasan dan toleransi" dan "Barat lebih mampu menyuguhkan itu".
Pertanyaannya: Kebebasan seperti apa yang Anda maksud? Tapi berdasarkan ungkapan terakhir Anda, sepertinya yang Anda maksud adalah kebebasan dan toleransi ala Barat. Padahal istilah "kebebasan dan toleransi" di Barat bermakna:
1. Bebas dari Tuhan.
2. Bebas dan toleransi terhadap perbuatan Lesbian.
3. Bebas dan toleransi terhadap perbuatan Homo seksual.
4. dan kebebasan-kebebasan lain yang semua itu hanya bentuk-bentuk dari pemuasan syahwat manusiawi belaka.
Ana tidak menafikan bahwa dalam beberapa aspek bisa kita ambil, namun ana hanya ingin menekankan bahwa jika kita menyebut istilah "kebebasan" ala Barat, maka itu pada hakikatnya adalah sebuah konsep baku yang didalamnya mengandung nilai-nilai dan cara pandang Barat hari ini.
Pertanyaan selanjutnya, apakah dalam Islam tidak ada konsep "kebebasan dan toleransi", khususnya dalam bermazhab? Jawabannya tentu ada. Para Fuqaha kita telah dengan baik menunjukkan itu. Di sini kita harus mampu membedakan antara "apa" yang seharusnya dan telah dicontohkan oleh para ulama yang tulus, ikhlas semata2 karena Allah swt dengan "apa" yang belakangan diperagakan oleh sejumlah "oknum" atas nama Islam yang bertentangan dengan itu.
Singkatnya, mari kita kaji lagi secara mendalam Khazana Islam. Peradaban ini telah menunjukkan keperkasaannya selama kurang lebih 7 abad lamanya. Sedangkan Barat baru sekitar 2 abad terakhir. Itupun dengan berbagai krisis yang hingga kini tak kunjung usai. Ana tidak hanya bermaksud "bernostalgia" belaka, tapi memang kenyataannya, TIDAK ADA SATU PERADABAN PUN YANG AKAN MAJU MANAKALA ORANG-ORANG DI DALAMNYA TIDAK LAGI BANGGA DENGANNYA.
Terakhir,.....
Dulu, saat jalan-jalan di Barat itu masih "becek dan licin", di negeri-negeri Islam telah "mulus dan ber-aspal". Mari....!!!
Imam Syadili
Ustadz Asmu'e n Bang Su'ud.
sejauh yang saya kethui, ada dua pendapat tntang definisi Syariat.
1. syariat adalah segala ajaran agama.
2. syariat dmaksudkan sebagai Hkum Fikih. (maka ada yg namanya kuliah syariat, yang sebenarnya konsentrasi pada pelajaran fiqih).
bisanya keduanya digunkan sesuai dengan konteks
jika syariat diartikan sebagai hal yang universal -sebagaimana poin satu- maka, dibawahnya ada fiqih, akhlak, dan aqidah dl.
membaca tulisan Ustad Asmu'i di atas, saya lebih condong syariat disini bermakna Fiqih (Partikular), atau atuan yuridis manusia yang diambil dri Nash.
Prlu sya teknkan, bahwa Syriat tidak muqaddas. ia tidak terlepas dari kekliruan, krena sudah bercampur dengan akal manusia. yang muqaddas ialah Nash yang masih orsnil.
Disini, saya melihat kesimpulan ustad Asmu'e keliru, bahwa syariah adalah Nusuhs Muqaddasah. sebagaimana pragraf ke 5. dan, saya lebih setuju dengan pendapat Na'im bahwa syriat bersifat rlatif. mungkin hal ini juga yang dimksud baginda Nabi "barang siapa yang berijtihad dan benar mka dapat dua pahala, dan jika salah dapat satu pahala."
orang Sudan seperti Na'im sudah biasa menggunakan lafadz syariat dengan arti fiqih sebagaimana orang arab lainya.
HAl Lain, sangat fatal menuduh orng sebelum tabayun (mncari penjlasan kebenaranya). misalnya mengatakan "pemabuk" atau "pezina" pada orang tanpa mengetahui fakta sejelas jelasnya.
Bang Su'ud, memang kita perlu banyak belajar. jika ingin mengkritik maqashid syari'ah, setidaknya baca muwafaqot karya Sytibi, sebagai pncetus maqasid syariah. selanjutnya, ya kitab pusaka anda, "maqashid syari'ah" karya Ibnu Asyur, penerus Syatibi. agar tulisan kita tidak kering.
Gus Fa
Mohammad Suud Ibnu Aqil dan Imam Syadili: Perdebtan yang luar biasa, namun kita harus bisa melihat hal tersebut melalui kaca mata dan tashawwur islami seperti halnya ungkapanya "Sayyid Kutb". secara pribadi Saya sependapat dengan akh asmu'i, bahwa saya melihat tantangan berat yang dihadapi oleh umat Islam, kini dan akan datang. Faktanya, bukan hanya ilmu-ilmu sains dan teknologi yang terhegemoni oleh Barat. Tapi, ilmu-ilmu keislaman pun sudah terhegemoni. Melalui pusat-pusat studi Islam di Barat, para orientalis, dulu dan sekarang, sangat aktif melakukan kajian keislaman dan mendidik sarjana-sarjana Muslim menjadi kader-kader mereka. Banyak yang mampu bersikap kritis terhadap kajian orientalis. Tetatpi, sangat tidak sedikit yang silau dan terpukau dengan institusi studi Islam dan kehebatan para orientalis, sehingga seorang kandidat doktor studi Islam di AS ada yang menyatakan, bahwa studi Islam terbaik di dunia saat ini adalah di Amerika. Kata dia, studi Islam di Barat didasarkan pada ”kajian kritis”, bukan ”berdasar atas keimanan” (based on faith). Karena itulah, katanya, kajian Islam di Barat lebih berkembang ketimbang di dunia Islam. Sebab, kajian mereka bersifat objektif ilmiah.
Maklum, para orientalis yang melakukan studi Islam, sangat jarang yang kemudian beriman dengan yang mereka kaji. Ilmu dipisahkan dari iman dan amal. Inilah yang mereka katakan sebagai model kajian objektif ilmiah. Kaum Muslim yang mengkaji agama-agama lain dalam perspektif al-Quran langsung dimasukkan kotak: subjektif tidak ilmiah. Begitu juga jika seorang mengkaji al-Quran, tetapi sudah mengimani dan mensucikan al-Quran, langsung dimasukkan dalam kategori ”subjektif-ideologis”. Kata mereka, kajian Islam harus netral dari keberpihakan ideologis. Ketika mengkaji al-Quran, mahasiswa diminta ”melepaskan keimanannya” dan mengkaji al-Quran secara objektif. Itu yang dikatakan objektif ilmiah dan kajian kritis. Meskipun, biasanya, sikap kritis itu hanya ditujukan kepada para ulama Islam, bukan kepada ilmuwan-ilmuwan Barat. Sungguh sangat ironis meliahat realitas yang ada yang terbalik. Akumulasinya ternyata jiwa seorang muslim kini hanya kedok semata. Sisanya..silahkan interpretasikan sendiri...saya tidak tega untuk mengulaskanya..saya khawatir anda munkin yang terjebak dalam gemerlapnya dunia barat yang bersifat fatamorgana..
Asmu'i Marto
@Akhi Imam Syadili:
1). Masalah Na'im yang minum bir bukan tuduhan.
Jum... See more’at, 27 Juli 2007 yang lalu, penerbit Mizan mengadakan diskusi dan bedah buku “Islam dan Negara Sekular: Menegoisasikan Masa Depan Syariah” di MP Book Point Cipete Jakarta dengan menghadirkan penulisnya, Abdullah Ahmed An-Naim (Sudan), yang saat ini menjabat sebagai Professor of Law, Emory University, Atlanta, Georgia, U.S.A. Di samping itu, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Ed, M.Phil (Presiden Direktur INSISTS) diundang sebagai pembedah utama dan dua pembedah lainnya dari majalah Sabili dan Hizbut Tahrir.
Na'im menunjukkan itu ketika jamuan malam di hotel tempat dia menginap. Bisa dikonfirmasi ke Prof. Dr. Amany Burhanuddin Lubis.
2). Masalah pandangan akhi Syadili tentang "syari'ah, fikih dan cara memahaminya" dipengaruhi oleh cara fikir "relativis" dan skeptis. Cara fikir ini adalah ciri Khas Barat Post-Modernisme, yang kelahirannya didahului oleh paham Nihilisme.
**********************************************************************