Pemimpin Minal ‘Aidin wal Faizin ( Makna dibalik Minal 'Aidin wal Faizin )
Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh.
Apa kabar sahabatku semua? Alhamdulillah tak terasa kita telah memasuki puasa ke 24 Ramadhan. Sahabat, biasanya kita semua setelah selesai atau sebelum bahkan mungkin setiap harinya sering berkata Minal ‘Aidin wal Faizin. Akan tetapi dari kita tidak memahami makna dibalik kata tersebut. Diambil contoh seorang pemimpin karena saat ini lagi marak-maraknya berita seputar pemimpin sebuah negara dan selain daripada itu kita sebagai insan ditunjuk oleh Allah sebagai Khalifah-Nya di muka bumi ini. Semoga artikel dibawah ini menambah pengetahuan dan wawasan kita ya sahabatku.
¸.•*´¯`♥♥♥¸¸.•*´¯`♥♥¸.•*´¯`♥♥♥¸¸.•*´¯`♥♥¸.•*´¯`♥♥♥¸¸.•*´¯`♥♥
Pemimpin Minal ‘Aidin wal Faizin
By: Anbar Thea
Pada tanggal 4 bulan Rabi’ul Awwal 886 H/Mei 1481 M, umat Islam kehilangan pemimpin agungnya. Dialah Sultan Muhammad Al-Fatih yang wafat dalam usia 52 tahun. Sebelum wafat, ia berwasiat pada penggantinya,
“Wahai penggantiku, tak lama lagi aku akan menghadap Allah. Namun aku sama sekali tidak khawatir, karena aku meninggalkan pengganti seperti kamu. Jadilah engkau seorang pemimpin yang adil, saleh dan penebar kasih sayang. Rentangkan perlindunganmu terhadap seluruh rakyat, tanpa membeda-bedakan. Giatlah untuk menyebarkan Islam, mengingat menyebarkan Islam adalah kewajiban raja-raja di bumi. Kedepankan kepetingan agama atas kepentingan apa pun selainnya. Jangan pernah lemah dan lalai dalam menegakkan agama. Jangan pernah mengangkat orang-orang yang tidak mempedulikan agama sebagai pembantu-pembantumu. Juga, jangan pula mengangkat orang-orang yang bergelimang dosa dan maksiat sebagai menteri-menterimu. Hindari bid’ah-bid’ah yang merusak. Pertahankan negeri melalui jalan jihad. Jagalah harta di Baitul Mal, jangan dihambur-hamburkan. Jangan sekali-kali mengambil harta rakyatmu kecuali sesuai dengan aturan Islam. Himpunlah orang-orang yang lemah dan fakir. Berikan penghormatanmu kepada orang-orang yang berhak.”
Di ujung wasiatnya, ia berpesan,
“Ambillah pelajaran ini dariku. Aku datang ke negeri ini laksana semut kecil. Tapi Allah karuniakan nikmat kepadaku yang sedemikian besar. Berjalanlah seperti yang aku lakukan. Janganlah kamu berfoya-foya dan menghambur-hamburkan uang negara, atau kamu pergunakan lebih dari sewajarnya. Sebab semua itu merupakan penyebab utama kehancuran.” (As-Sulthan Muhammad Al-Fatih, 171-172)
***
Ungkapan Minal ‘Aidin wal Faizin acap diucapkan kaum muslimin Indonesia usai melaksanakan puasa Ramadhan dan shalat ‘Idul Fitri. Ungkapan tersebut kurang lebih merupakan doa yang bermakna semoga kita semua termasuk dalam golongan orang-orang yang kembali (kepada fitrah suci) dan golongan orang-orang yang meraih sukses. Sebuah ungkapan singkat, tapi mengandung makna yang begitu luhur dan agung, kendati seringkali versi bahasa Arabnya sering salah diucapkan lidah kebanyakan muslim Indonesia.
Terlepas dari semua itu, dalam konteks kepemimpinan bangsa dan keumatan, kita memang sangat merindukan lahirnya pemimpin atau para penguasa dalam segala levelnya yang termasuk dalam kategori ‘orang-orang yang kembali pada fitrah suci’ dan ‘orang-orang yang meraih sukses’. Fitrah suci adalah nilai murni seorang insan, laksana kertas putih yang bersih dari titik noda kesalahan, terhindar dari noktah keserakahan dan dosa. Sedang kesuksesan dalam dimensi lebih luas, mencakup kesuksesan lahir batin, material-spiritual dan dunia-akhirat.
Bila dihubungkan dengan nasihat Sultan Muhammad Al-Fatih di atas, maka seorang pemimpin atau penguasa dapat merepresentasikan diri sebagai sosok ‘fitrah suci’ dan ‘sukses’ bila memenuhi beberapa rukun berikut;
Pertama; mampu menegakkan keadilan dan saleh secara ritual juga sosial.
Keadilan adalah misi universal yang karenanya Allah mengutus para rasul untuk menegakkannya. Keadilan adalah milik semua kalangan. Ia tak boleh terhijabi perbedaan ras, agama, status sosial, perasaan dan apapun yang bisa menghalangi keadilan tegak di muka bumi. Keadilan Islam telah sejak lama ditulis tinta emas sejarah peradaban manusia, baik ketika perang maupun dalam kondisi damai. Abu Bakar Ash-Shiddiq sebelum mengirim pasukan untuk berperang melawan pasukan Romawi, pesan yang disampaikan saat defile pasukan adalah, “Jangan berkhianat. Jangan berlebih-lebihan. Jangan ingkar janji. Jangan mencincang mayat. Jangan membunuh anak kecil, orang tua renta, wanita. Jangan membakar pohon, menebang atau menyembelih kambing kecuali untuk dimakan. Jangan mengusik orang-orang Kristen yang sedang beribadah. Berangkatlah dengan bismillah.”
Kedua; melindungi dan mengayomi seluruh rakyat, tanpa membeda-bedakan.
Ketika seseorang terpilih menjadi pemimpin mulai dari level terendah hingga tertinggi, dalam Islam, ia tidak lagi menjadi pemimpin bagi sebagian kalangan yang mencalonkan atau memilihnya. Tapi ia menjadi pemimpin bagi seluruh konstituen. Oleh karena itu, atribut-atribut sektoral seperti ketua partai, ketua ormas atau apapun bentuknya, harus ditanggalkan. Inilah yang dilakukan Sultan Muhammad Al-Fatih yang sangat penuh perhatian kepada rakyatnya, baik dari kalangan muslim atau non muslim. dikisahkan, penduduk pulau Khabus yang masuk dalam wilayah teritori Khilafah Utsmaniyah memiliki hutang seribu Duqa kepada Fransisco De Rapeyur seorang hartawan di negeri Galata. Saat si empunya hutang tak mampu menagih hutangnya, ia melaporkannya kepada Sultan. Atas dasar laporan ini, Sultan mengirimkan pasukan. Namun sayangnya, penduduk pulau Khabus malah menolak membayar hutang dan melawan prajurit Sultan. Ketika itu Sultan berkata kepada Fransisco, “Akulah yang akan menanggung semua hutang mereka terhadapmu. Juga, aku akan menuntut tebusan berlipat terhadap mereka atas darah tentara yang meninggal.”
Ketiga; aktif giat menebar nilai-nilai Islam ke dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di tengah kiris moral yang semakin membuncah di negeri ini, tentu dibutuhkan political will dari pihak yang berwenang untuk menangani dan mencarikan solusi atas permasalahan yang ada. Di sini jangan disalahpahami bahwa negara ikut campur privasi seseorang, tidak.
Sebagai seorang pemimpin, kewajibannya adalah seperti yang difirmankan Allah, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang dapat memberikan kebahagiaan.” (QS. Ali Imran (3):104)
Sangat wajar bila Nabi Muhammad s.a.w. mendudukkan perubahan kemungkaran dengan kekuatan pada tindakan aksi pertama. Karena aksi pihak yang memiliki power dampaknya bersikap mengikat dan memiliki sanksi hukum. Lain halnya dengan aksi lisan, apalagi aksi hati.
Seyogyanya, nilai-nilai Islam tersebut tidak hanya sekadar slogan atau seremonial semata, tapi benar-benar dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari sang pemimpin, keluarga, staf-stafnya dan juga dalam kebijakan yang menyentuh hajat hidup orang banyak. Tentu penyebaran nilai-nilai Islam ini harus dilakukan secara bertahap dan tepat sasaran. Artinya, tidak terburu-buru dan juga tidak hanya mengusung judul besar seperti ‘Syariat Islam’ atau ‘Piagam Jakarta’. Karena sesuatu yang ideal, membutuhkan cara yang pas dan waktu yang ideal pula. Mungkin di antara konsep paling rasional dan terukur adalah, mengutip tausiah KH. Abdullah Gymnastiar, memulai dari diri sendiri, dimulai dari hal kecil, dilakukan sekarang dan berlangsung secara dawam.
Keempat; mengedepankan kepentingan moralitas dan nilai-nilai religi daripada kepentingan apa pun.
Kebijakan pihak berwenang saat ini sangat absurd dan amburadul. Dimana apapun akan digusur bila kepentingan ekonomi-bisnis yang berbicara. Judi menjadi legal, hanya dengan dalih menambah devisa untuk pembangunan. Prostitusi dilindungi, agar dapat dikenakan pajak. Minuman keras terus diproduksi, sekali lagi alasannya klise, ekonomi. Belum lagi kita berbicara korupsi, kolusi, pencurian uang rakyat dengan berbagai dalih. Moralitas dan nilai-nilai religi inilah yang harus dikedepankan pihak-pihak yang berwenang, jika ia ingin sukses memimpin negeri.
Kelima; tidak menunjuk orang-orang yang tak peduli terhadap agama dan mereka yang bergelimang dosa dan maksiat sebagai pejabat atau menteri.
Uji kepatutan dan kelayakan yang sering kita dengar saat menskrining pejabat baru, seyogyanya menyentuh pula aspek ketaatan terhadap keyakinan dan agama serta apakah ia bergelimang dosa dan maksiat. Maraknya kasus korupsi di puluhan DPRD dan lembaga-lembaga terhormat lainnya, mencerminkan lemahnya aspek uji kepatutan dan kelayakan yang hanya menyangkut aspek otak dan otot saja. Belum lagi kasus para pejabat yang tertangkap basah tengah pesta narkoba yang jumlah kasusnya mencapai puluhan. Ditambah dengan para pejabat yang memiliki WIL atau PIL (wanita/pria intim lain selain istri sah), yang ditenggarai sudah menjadi salah satu tren hidup para petinggi negeri ini.
Keenam; mempertahankan negeri dengan gelora jihad.
Semangat jihad sudah hilang tergoyah pragmatisme sesaat. Penyakit ini bukan hanya mengiris mental masyarakat umum, tapi juga menyayat elemen pertahanan itu sendiri. KSAD berkali-kali mensyinyalir, lebih dari 60 ribu intelejen asing bergentayangan di negeri ini. Tapi kita saksikan, mereka yang berseragam tentara yang notabene digaji rakyat, sibuk berbisnis mengeksploitasi sumber daya alam dan melupakan tugas pokoknya.
Ketujuh; membelanjakan uang negara secara proporsional dan tidak merampas hak rakyat.
Perilaku boros, manja, foya-foya dan kehidupan jet set yang dilakukan para pejabat, birokrat dan para pemimpin negeri ini sudah menjadi pemandangan umum. Mereka gelontorkan uang pajak untuk keperluan konsumtif yang sejatinya tidak perlu dilakukan. Hal ini nampak jelas dari mobil mewah yang digunakan, rumah megah yang ditinggali hingga berbagai fasilitas yang acap bagi rakyat kebanyakan mustahil mencicipinya. Ironisnya semua kebobrokan ini dilakukan saat rakyat kecil diperas dan diperintahkan untuk mengeratkan ikat pinggang. Sungguh memprihatinkan.
Kedelapan; lebih berpihak kepada orang-orang lemah dan rakyat jelata.
Keberpihakan ini yang sangat dirindukan. Lima kali sudah Indonesia berganti penguasa, tapi kehidupan rakyat tak kunjung beranjak baik. Malah, rakyat Indonesia semakin diperbudak, dinistakan, harga diri mereka diinjak-injak, harta mereka digusur, hak-hak mereka dirampas hingga tak ada secercah kenikmatan yang dapat dirasakan rakyat kebanyakan. Semua akibat kebijakan penguasa yang tidak berpihak kepada rakyat kecil. Didukung aparat yang makin hari makin keparat jauh dari rakyat.
Kita merindukan pemimpin yang yang tidak acuh lagi saat ratusan ribu TKI diusir, ratusan orang dianiyaya, tidak ada lagi penangkapan-penangkapan membabibuta, tidak terdengar lagi penahanan, penyerbuan dan pengrusakan pihak aparat terhadap para aktivis Islam, tidak membiarkan begitu saja para pencoleng, perampok dan koruptor ulung negeri ini kabur ke luar negeri di tengah hiruk pikuk intelejen, tidak ada lagi ketimpangan kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir orang saja. Bila semua problem ini dapat diselesaikan dengan baik, niscaya sang pemimpin akan dikenang bukan hanya dalam sejarah tapi ditulis tinta emas dalam hati seluruh rakyat. Itulah sosok pemimpin Minal ‘Aidin wal Faizin. Wallahu A’lam.
************************************************************
Semoga catatan yang evi share ke semua sahabat ini dapat di ambil hikmahnya ya. Bukan hanya sekedar pemimpin yang Minal ‘Aidin wal Faizin tapi kita juga sebagai manusia yang Minal ‘Aidin wal Faizin dan mengerti dibalik makna kata tersebut sehingga mudah untuk kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Semangat terus ya sahabatku untuk memperbaiki diri menjadi lebih baik lagi. Begitu juga dengan diri evi sendiri. Semoga jalinan ukhuwah kita tetap kekal selamanya dan indah di dunia dan akhirat. Amin..
Wassalamu'alaikum warahmatullah
~Evi A.~
Medan, 3 September 2010
Apa kabar sahabatku semua? Alhamdulillah tak terasa kita telah memasuki puasa ke 24 Ramadhan. Sahabat, biasanya kita semua setelah selesai atau sebelum bahkan mungkin setiap harinya sering berkata Minal ‘Aidin wal Faizin. Akan tetapi dari kita tidak memahami makna dibalik kata tersebut. Diambil contoh seorang pemimpin karena saat ini lagi marak-maraknya berita seputar pemimpin sebuah negara dan selain daripada itu kita sebagai insan ditunjuk oleh Allah sebagai Khalifah-Nya di muka bumi ini. Semoga artikel dibawah ini menambah pengetahuan dan wawasan kita ya sahabatku.
¸.•*´¯`♥♥♥¸¸.•*´¯`♥♥¸.•*´¯`♥♥♥¸¸.•*´¯`♥♥¸.•*´¯`♥♥♥¸¸.•*´¯`♥♥
Pemimpin Minal ‘Aidin wal Faizin
By: Anbar Thea
Pada tanggal 4 bulan Rabi’ul Awwal 886 H/Mei 1481 M, umat Islam kehilangan pemimpin agungnya. Dialah Sultan Muhammad Al-Fatih yang wafat dalam usia 52 tahun. Sebelum wafat, ia berwasiat pada penggantinya,
“Wahai penggantiku, tak lama lagi aku akan menghadap Allah. Namun aku sama sekali tidak khawatir, karena aku meninggalkan pengganti seperti kamu. Jadilah engkau seorang pemimpin yang adil, saleh dan penebar kasih sayang. Rentangkan perlindunganmu terhadap seluruh rakyat, tanpa membeda-bedakan. Giatlah untuk menyebarkan Islam, mengingat menyebarkan Islam adalah kewajiban raja-raja di bumi. Kedepankan kepetingan agama atas kepentingan apa pun selainnya. Jangan pernah lemah dan lalai dalam menegakkan agama. Jangan pernah mengangkat orang-orang yang tidak mempedulikan agama sebagai pembantu-pembantumu. Juga, jangan pula mengangkat orang-orang yang bergelimang dosa dan maksiat sebagai menteri-menterimu. Hindari bid’ah-bid’ah yang merusak. Pertahankan negeri melalui jalan jihad. Jagalah harta di Baitul Mal, jangan dihambur-hamburkan. Jangan sekali-kali mengambil harta rakyatmu kecuali sesuai dengan aturan Islam. Himpunlah orang-orang yang lemah dan fakir. Berikan penghormatanmu kepada orang-orang yang berhak.”
Di ujung wasiatnya, ia berpesan,
“Ambillah pelajaran ini dariku. Aku datang ke negeri ini laksana semut kecil. Tapi Allah karuniakan nikmat kepadaku yang sedemikian besar. Berjalanlah seperti yang aku lakukan. Janganlah kamu berfoya-foya dan menghambur-hamburkan uang negara, atau kamu pergunakan lebih dari sewajarnya. Sebab semua itu merupakan penyebab utama kehancuran.” (As-Sulthan Muhammad Al-Fatih, 171-172)
***
Ungkapan Minal ‘Aidin wal Faizin acap diucapkan kaum muslimin Indonesia usai melaksanakan puasa Ramadhan dan shalat ‘Idul Fitri. Ungkapan tersebut kurang lebih merupakan doa yang bermakna semoga kita semua termasuk dalam golongan orang-orang yang kembali (kepada fitrah suci) dan golongan orang-orang yang meraih sukses. Sebuah ungkapan singkat, tapi mengandung makna yang begitu luhur dan agung, kendati seringkali versi bahasa Arabnya sering salah diucapkan lidah kebanyakan muslim Indonesia.
Terlepas dari semua itu, dalam konteks kepemimpinan bangsa dan keumatan, kita memang sangat merindukan lahirnya pemimpin atau para penguasa dalam segala levelnya yang termasuk dalam kategori ‘orang-orang yang kembali pada fitrah suci’ dan ‘orang-orang yang meraih sukses’. Fitrah suci adalah nilai murni seorang insan, laksana kertas putih yang bersih dari titik noda kesalahan, terhindar dari noktah keserakahan dan dosa. Sedang kesuksesan dalam dimensi lebih luas, mencakup kesuksesan lahir batin, material-spiritual dan dunia-akhirat.
Bila dihubungkan dengan nasihat Sultan Muhammad Al-Fatih di atas, maka seorang pemimpin atau penguasa dapat merepresentasikan diri sebagai sosok ‘fitrah suci’ dan ‘sukses’ bila memenuhi beberapa rukun berikut;
Pertama; mampu menegakkan keadilan dan saleh secara ritual juga sosial.
Keadilan adalah misi universal yang karenanya Allah mengutus para rasul untuk menegakkannya. Keadilan adalah milik semua kalangan. Ia tak boleh terhijabi perbedaan ras, agama, status sosial, perasaan dan apapun yang bisa menghalangi keadilan tegak di muka bumi. Keadilan Islam telah sejak lama ditulis tinta emas sejarah peradaban manusia, baik ketika perang maupun dalam kondisi damai. Abu Bakar Ash-Shiddiq sebelum mengirim pasukan untuk berperang melawan pasukan Romawi, pesan yang disampaikan saat defile pasukan adalah, “Jangan berkhianat. Jangan berlebih-lebihan. Jangan ingkar janji. Jangan mencincang mayat. Jangan membunuh anak kecil, orang tua renta, wanita. Jangan membakar pohon, menebang atau menyembelih kambing kecuali untuk dimakan. Jangan mengusik orang-orang Kristen yang sedang beribadah. Berangkatlah dengan bismillah.”
Kedua; melindungi dan mengayomi seluruh rakyat, tanpa membeda-bedakan.
Ketika seseorang terpilih menjadi pemimpin mulai dari level terendah hingga tertinggi, dalam Islam, ia tidak lagi menjadi pemimpin bagi sebagian kalangan yang mencalonkan atau memilihnya. Tapi ia menjadi pemimpin bagi seluruh konstituen. Oleh karena itu, atribut-atribut sektoral seperti ketua partai, ketua ormas atau apapun bentuknya, harus ditanggalkan. Inilah yang dilakukan Sultan Muhammad Al-Fatih yang sangat penuh perhatian kepada rakyatnya, baik dari kalangan muslim atau non muslim. dikisahkan, penduduk pulau Khabus yang masuk dalam wilayah teritori Khilafah Utsmaniyah memiliki hutang seribu Duqa kepada Fransisco De Rapeyur seorang hartawan di negeri Galata. Saat si empunya hutang tak mampu menagih hutangnya, ia melaporkannya kepada Sultan. Atas dasar laporan ini, Sultan mengirimkan pasukan. Namun sayangnya, penduduk pulau Khabus malah menolak membayar hutang dan melawan prajurit Sultan. Ketika itu Sultan berkata kepada Fransisco, “Akulah yang akan menanggung semua hutang mereka terhadapmu. Juga, aku akan menuntut tebusan berlipat terhadap mereka atas darah tentara yang meninggal.”
Ketiga; aktif giat menebar nilai-nilai Islam ke dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di tengah kiris moral yang semakin membuncah di negeri ini, tentu dibutuhkan political will dari pihak yang berwenang untuk menangani dan mencarikan solusi atas permasalahan yang ada. Di sini jangan disalahpahami bahwa negara ikut campur privasi seseorang, tidak.
Sebagai seorang pemimpin, kewajibannya adalah seperti yang difirmankan Allah, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang dapat memberikan kebahagiaan.” (QS. Ali Imran (3):104)
Sangat wajar bila Nabi Muhammad s.a.w. mendudukkan perubahan kemungkaran dengan kekuatan pada tindakan aksi pertama. Karena aksi pihak yang memiliki power dampaknya bersikap mengikat dan memiliki sanksi hukum. Lain halnya dengan aksi lisan, apalagi aksi hati.
Seyogyanya, nilai-nilai Islam tersebut tidak hanya sekadar slogan atau seremonial semata, tapi benar-benar dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari sang pemimpin, keluarga, staf-stafnya dan juga dalam kebijakan yang menyentuh hajat hidup orang banyak. Tentu penyebaran nilai-nilai Islam ini harus dilakukan secara bertahap dan tepat sasaran. Artinya, tidak terburu-buru dan juga tidak hanya mengusung judul besar seperti ‘Syariat Islam’ atau ‘Piagam Jakarta’. Karena sesuatu yang ideal, membutuhkan cara yang pas dan waktu yang ideal pula. Mungkin di antara konsep paling rasional dan terukur adalah, mengutip tausiah KH. Abdullah Gymnastiar, memulai dari diri sendiri, dimulai dari hal kecil, dilakukan sekarang dan berlangsung secara dawam.
Keempat; mengedepankan kepentingan moralitas dan nilai-nilai religi daripada kepentingan apa pun.
Kebijakan pihak berwenang saat ini sangat absurd dan amburadul. Dimana apapun akan digusur bila kepentingan ekonomi-bisnis yang berbicara. Judi menjadi legal, hanya dengan dalih menambah devisa untuk pembangunan. Prostitusi dilindungi, agar dapat dikenakan pajak. Minuman keras terus diproduksi, sekali lagi alasannya klise, ekonomi. Belum lagi kita berbicara korupsi, kolusi, pencurian uang rakyat dengan berbagai dalih. Moralitas dan nilai-nilai religi inilah yang harus dikedepankan pihak-pihak yang berwenang, jika ia ingin sukses memimpin negeri.
Kelima; tidak menunjuk orang-orang yang tak peduli terhadap agama dan mereka yang bergelimang dosa dan maksiat sebagai pejabat atau menteri.
Uji kepatutan dan kelayakan yang sering kita dengar saat menskrining pejabat baru, seyogyanya menyentuh pula aspek ketaatan terhadap keyakinan dan agama serta apakah ia bergelimang dosa dan maksiat. Maraknya kasus korupsi di puluhan DPRD dan lembaga-lembaga terhormat lainnya, mencerminkan lemahnya aspek uji kepatutan dan kelayakan yang hanya menyangkut aspek otak dan otot saja. Belum lagi kasus para pejabat yang tertangkap basah tengah pesta narkoba yang jumlah kasusnya mencapai puluhan. Ditambah dengan para pejabat yang memiliki WIL atau PIL (wanita/pria intim lain selain istri sah), yang ditenggarai sudah menjadi salah satu tren hidup para petinggi negeri ini.
Keenam; mempertahankan negeri dengan gelora jihad.
Semangat jihad sudah hilang tergoyah pragmatisme sesaat. Penyakit ini bukan hanya mengiris mental masyarakat umum, tapi juga menyayat elemen pertahanan itu sendiri. KSAD berkali-kali mensyinyalir, lebih dari 60 ribu intelejen asing bergentayangan di negeri ini. Tapi kita saksikan, mereka yang berseragam tentara yang notabene digaji rakyat, sibuk berbisnis mengeksploitasi sumber daya alam dan melupakan tugas pokoknya.
Ketujuh; membelanjakan uang negara secara proporsional dan tidak merampas hak rakyat.
Perilaku boros, manja, foya-foya dan kehidupan jet set yang dilakukan para pejabat, birokrat dan para pemimpin negeri ini sudah menjadi pemandangan umum. Mereka gelontorkan uang pajak untuk keperluan konsumtif yang sejatinya tidak perlu dilakukan. Hal ini nampak jelas dari mobil mewah yang digunakan, rumah megah yang ditinggali hingga berbagai fasilitas yang acap bagi rakyat kebanyakan mustahil mencicipinya. Ironisnya semua kebobrokan ini dilakukan saat rakyat kecil diperas dan diperintahkan untuk mengeratkan ikat pinggang. Sungguh memprihatinkan.
Kedelapan; lebih berpihak kepada orang-orang lemah dan rakyat jelata.
Keberpihakan ini yang sangat dirindukan. Lima kali sudah Indonesia berganti penguasa, tapi kehidupan rakyat tak kunjung beranjak baik. Malah, rakyat Indonesia semakin diperbudak, dinistakan, harga diri mereka diinjak-injak, harta mereka digusur, hak-hak mereka dirampas hingga tak ada secercah kenikmatan yang dapat dirasakan rakyat kebanyakan. Semua akibat kebijakan penguasa yang tidak berpihak kepada rakyat kecil. Didukung aparat yang makin hari makin keparat jauh dari rakyat.
Kita merindukan pemimpin yang yang tidak acuh lagi saat ratusan ribu TKI diusir, ratusan orang dianiyaya, tidak ada lagi penangkapan-penangkapan membabibuta, tidak terdengar lagi penahanan, penyerbuan dan pengrusakan pihak aparat terhadap para aktivis Islam, tidak membiarkan begitu saja para pencoleng, perampok dan koruptor ulung negeri ini kabur ke luar negeri di tengah hiruk pikuk intelejen, tidak ada lagi ketimpangan kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir orang saja. Bila semua problem ini dapat diselesaikan dengan baik, niscaya sang pemimpin akan dikenang bukan hanya dalam sejarah tapi ditulis tinta emas dalam hati seluruh rakyat. Itulah sosok pemimpin Minal ‘Aidin wal Faizin. Wallahu A’lam.
************************************************************
Semoga catatan yang evi share ke semua sahabat ini dapat di ambil hikmahnya ya. Bukan hanya sekedar pemimpin yang Minal ‘Aidin wal Faizin tapi kita juga sebagai manusia yang Minal ‘Aidin wal Faizin dan mengerti dibalik makna kata tersebut sehingga mudah untuk kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Semangat terus ya sahabatku untuk memperbaiki diri menjadi lebih baik lagi. Begitu juga dengan diri evi sendiri. Semoga jalinan ukhuwah kita tetap kekal selamanya dan indah di dunia dan akhirat. Amin..
Wassalamu'alaikum warahmatullah
~Evi A.~
Medan, 3 September 2010