Antara Terkabulnya Do'a dan Hikmah Rabbaniyah
"Sudah berulang kali Aku berdo'a, tapi belum juga dikabulkan. Kalau begini, lebih baik Aku tidak berdo'a saja. Apalagi Aku lihat tetanggaku, si fulan yang tak pernah berdo'a, usahanya makin maju aja," keluh seorang teman kepadaku. Mendengar itu, aku hanya bisa menggelengkan kepada. Tak Aku sangka, ternyata dia yang Aku kenal rajin ibadah terutama dalam berdo'a melakukan semua itu hanya karena ingin urusan duniawinya lancar, keingingannya terpenuhi.
Sambil menatapnya dalam-dalam, dengan nada rendah Aku memberanikan diri berkata, "teman, bagaimana mungkin Allah swt mengabulkan do'amu jika hatimu tidak ikhlas, dunia menjadi tujuanmu, bukan Ridha-Nya. Bahkan, kata-katamu itu menunjukkan seakan-akan kamu lebih tahu mana yang lebih baik untukmu dari pada Allah Yang Maha Mengetahui, Yang Menciptakanmu; seolah-olah kamu lebih tahu "takdir terbaik"-mu daripada-Nya. Astaghfirullahal 'Adzim."
Do'a, Sarana Menyadarkan Diri
Sebagai hamba, kita tak memiliki apa-apa di hadapan-Nya. Dalam hal ini, ada banyak cara untuk menyadarkan diri kita tentang kelemahan, ketidakberdayaan, kemiskinan dan kebutuhan kita kepada-Nya, salah satunya melalui pemahaman hakikat do'a.
Doa itu ruhul ibadah. Inti dari doa adalah benar-benar bisa menjadikan diri kita sebagai hamba sejati. Ya, benar-benar sebagai hamba, yang butuh Tuhannya Yang Maha Memiliki. Di sini kita dituntut untuk menyadari diri kita sepenuhnya, menyadari siapa kita dan siapa Tuhan kita. Menyadari bahwa tanpa-Nya, kita bukan apa-apa, dan tak memiliki apa-apa hatta diri kita sendiri. Dan menyadari bahwa kita tak bisa berbuat apa-apa, termasuk mengurus diri kita sendiri tanpa pertolongan-Nya.
Jika begitu, yang terpenting dari sebuah doa adalah bagaimana kita mengetahui hakikat diri kita, memurnikan tauhid, menyerahkan dan menyandarkan segalanya hanya pada-Nya. Menyadari betapa lemahnya kita, tanpa pertolongan-Nya mustahil kita mampu menjalani hidup dan kehidupan ini. Dengan demikian, do'a merupakan sarana penghambaan diri kita pada-Nya, sarana untuk mendekatkan diri pada Allah swt. Bukan ajang untuk menuntut Allah, bahkan merasa berhak memaksa-Nya memenuhi segala keinginan hawa nafsu manusiwi kita. Seandainya do'a itu dimaksudkan untuk niat tersebut, maka ia tidak layak untuk diterima. Sebab, sebagai bagian dari ubudiyah, do'a harus dilakukan dengan ikhlas karena Allah semata, mengharap Ridha-Nya (baca: Bediuzzaman Sa'id Nursi).
Orang-orang yang ikhlas dalam berdo'a, bisa dilihat dari sikapnya dalam menerima keputusan Allah swt. Bagi orang yang hatinya belum sungguh-sungguh kepada Allah, maka sikap penerimaannya terhadap keputusan Allah swt sangat ditentukan oleh kondisi hatinya. Ketika diberi ia akan terlalu gembira, tapi saat ditolak ia akan kecewa, karena harapannya tak tersampaikan. Nauidzubillahi min dzalik.
Allah swt Memberikan yang Terbaik
Jika kita telah tulus-ikhlas dalam berdo'a, Insya Allah akan diijabah oleh-Nya. Sebab itu sudah janji-Nya, "Dan Robb-mu berfirman, 'berdo'alah kepada-Ku niscaya akan Ku perkenankan bagimu" (QS. Al-Ghzafir: 60).
Namun perlu kita ketahui, mustajabnya do'a berbeda dengan diterimanya do'a. Setiap do'a pasti dijawab, tapi penerimaan dan pelaksanaan permohonan itu sendiri berjalan seiring hikmah Allah. Contohnya, seseorang yang sedang sakit memohon kepada dokter yang merawatnya dan berkata, "Beri Aku obat ini!" Tentu, dokter tadi tidak serta merta mengabulkan permintaan orang yang sedang sakit itu. Ia akan mempertimbangkan antara memberi obat yang sama, atau memberi obat yang lebih bermanfaat dan tepat, atau mengurungkan pengobatan berdasarkan pemeriksaan dan pengetahun yang ia miliki. Artinya, yang ia lakukan sejalan dengan hikmah dan mashlahat yang ada.
Tentu, jika yang kita maksudnya adalah Allah swt, maka analogi antara pasien dan dokter di atas sangatlah sederhana. Sebab Dia Maha Haq, Maha Bijaksana, Maha Mutlak, Maha Mengawasi lagi Maha Hadir dan Melihat di setiap waktu. Dia mengabulkan do'a hamba. Dengan pengabulan dan kehadiran-Nya, Dia menghilangkan kesepian dan keterasingannya yang menakutkan, dan menggantikannya dengan harapan, cinta dan ketenangan. Dia Maha Tahu, apakah akan menerima permohonan sebagaimana yang hamba minta dan memenuhinya secara langsung atau menolaknya. Semua itu sesuai hikmah rabbaniyah, bukan menuruti hawa nafsu hamba yang pengetahuannya sangat terbatas (baca: Al-Iman wa Takamulul-Insan).
Bagi orang yang mengetahui dan meyakini bahwa Allah swt Maha Mengetahui kebutuhan kita, dan Dia senantiasa memberikan yang terbaik untuk kita berdasarkan hikmah rabbaniyah-Nya, maka dengan tulus-ikhlas akan menerima apa pun yang Ia berikan. Bahkan baginya, bukan pemberian atau penolakan itu yang membuat hatinya senang atau susah. Ia senang tatkala bisa mensyukuri dan bersabar atas apa saja yang Allah swt putuskan untuknya. Begitu pula, ia akan sangat kecewa bila tidak bisa bersyukur dan bersabar atas semua ketentuan-Nya.
Uraian singkat ini menunjukkan, bahwa bagi kita umat Islam, yang terpenting dalam berdo'a bukan pada terkabulnya doa, tapi dengan doa itu kita bisa benar-benar menjadi hamba Allah swt, mendekatkan diri pada-Nya; bersyukur dan bersabar atas ketentuan-Nya. Sebab tugas kita adalah mengabdi pada-Nya, menyandarkan segalanya pada Allah swt semata. Sehingga, kita benar-benar memurnikan tauhid, berjiwa bulat hanya kepada-Nya. Perkara dikasih, itu bonus, agar makin tambah keimanan kita. Itu pun, belum tentu sesuai dengan harapan kita, sebab Allah swt Yang Maha Tahu kebutuhan kita. Mari, ikhlaskan diri kita untuk menerima ketentuan-Nya. Wallahu a'lamu bi ash-shawab.
(Kiriman : dari sahabatku Asmu'i Marto)
Sambil menatapnya dalam-dalam, dengan nada rendah Aku memberanikan diri berkata, "teman, bagaimana mungkin Allah swt mengabulkan do'amu jika hatimu tidak ikhlas, dunia menjadi tujuanmu, bukan Ridha-Nya. Bahkan, kata-katamu itu menunjukkan seakan-akan kamu lebih tahu mana yang lebih baik untukmu dari pada Allah Yang Maha Mengetahui, Yang Menciptakanmu; seolah-olah kamu lebih tahu "takdir terbaik"-mu daripada-Nya. Astaghfirullahal 'Adzim."
Do'a, Sarana Menyadarkan Diri
Sebagai hamba, kita tak memiliki apa-apa di hadapan-Nya. Dalam hal ini, ada banyak cara untuk menyadarkan diri kita tentang kelemahan, ketidakberdayaan, kemiskinan dan kebutuhan kita kepada-Nya, salah satunya melalui pemahaman hakikat do'a.
Doa itu ruhul ibadah. Inti dari doa adalah benar-benar bisa menjadikan diri kita sebagai hamba sejati. Ya, benar-benar sebagai hamba, yang butuh Tuhannya Yang Maha Memiliki. Di sini kita dituntut untuk menyadari diri kita sepenuhnya, menyadari siapa kita dan siapa Tuhan kita. Menyadari bahwa tanpa-Nya, kita bukan apa-apa, dan tak memiliki apa-apa hatta diri kita sendiri. Dan menyadari bahwa kita tak bisa berbuat apa-apa, termasuk mengurus diri kita sendiri tanpa pertolongan-Nya.
Jika begitu, yang terpenting dari sebuah doa adalah bagaimana kita mengetahui hakikat diri kita, memurnikan tauhid, menyerahkan dan menyandarkan segalanya hanya pada-Nya. Menyadari betapa lemahnya kita, tanpa pertolongan-Nya mustahil kita mampu menjalani hidup dan kehidupan ini. Dengan demikian, do'a merupakan sarana penghambaan diri kita pada-Nya, sarana untuk mendekatkan diri pada Allah swt. Bukan ajang untuk menuntut Allah, bahkan merasa berhak memaksa-Nya memenuhi segala keinginan hawa nafsu manusiwi kita. Seandainya do'a itu dimaksudkan untuk niat tersebut, maka ia tidak layak untuk diterima. Sebab, sebagai bagian dari ubudiyah, do'a harus dilakukan dengan ikhlas karena Allah semata, mengharap Ridha-Nya (baca: Bediuzzaman Sa'id Nursi).
Orang-orang yang ikhlas dalam berdo'a, bisa dilihat dari sikapnya dalam menerima keputusan Allah swt. Bagi orang yang hatinya belum sungguh-sungguh kepada Allah, maka sikap penerimaannya terhadap keputusan Allah swt sangat ditentukan oleh kondisi hatinya. Ketika diberi ia akan terlalu gembira, tapi saat ditolak ia akan kecewa, karena harapannya tak tersampaikan. Nauidzubillahi min dzalik.
Allah swt Memberikan yang Terbaik
Jika kita telah tulus-ikhlas dalam berdo'a, Insya Allah akan diijabah oleh-Nya. Sebab itu sudah janji-Nya, "Dan Robb-mu berfirman, 'berdo'alah kepada-Ku niscaya akan Ku perkenankan bagimu" (QS. Al-Ghzafir: 60).
Namun perlu kita ketahui, mustajabnya do'a berbeda dengan diterimanya do'a. Setiap do'a pasti dijawab, tapi penerimaan dan pelaksanaan permohonan itu sendiri berjalan seiring hikmah Allah. Contohnya, seseorang yang sedang sakit memohon kepada dokter yang merawatnya dan berkata, "Beri Aku obat ini!" Tentu, dokter tadi tidak serta merta mengabulkan permintaan orang yang sedang sakit itu. Ia akan mempertimbangkan antara memberi obat yang sama, atau memberi obat yang lebih bermanfaat dan tepat, atau mengurungkan pengobatan berdasarkan pemeriksaan dan pengetahun yang ia miliki. Artinya, yang ia lakukan sejalan dengan hikmah dan mashlahat yang ada.
Tentu, jika yang kita maksudnya adalah Allah swt, maka analogi antara pasien dan dokter di atas sangatlah sederhana. Sebab Dia Maha Haq, Maha Bijaksana, Maha Mutlak, Maha Mengawasi lagi Maha Hadir dan Melihat di setiap waktu. Dia mengabulkan do'a hamba. Dengan pengabulan dan kehadiran-Nya, Dia menghilangkan kesepian dan keterasingannya yang menakutkan, dan menggantikannya dengan harapan, cinta dan ketenangan. Dia Maha Tahu, apakah akan menerima permohonan sebagaimana yang hamba minta dan memenuhinya secara langsung atau menolaknya. Semua itu sesuai hikmah rabbaniyah, bukan menuruti hawa nafsu hamba yang pengetahuannya sangat terbatas (baca: Al-Iman wa Takamulul-Insan).
Bagi orang yang mengetahui dan meyakini bahwa Allah swt Maha Mengetahui kebutuhan kita, dan Dia senantiasa memberikan yang terbaik untuk kita berdasarkan hikmah rabbaniyah-Nya, maka dengan tulus-ikhlas akan menerima apa pun yang Ia berikan. Bahkan baginya, bukan pemberian atau penolakan itu yang membuat hatinya senang atau susah. Ia senang tatkala bisa mensyukuri dan bersabar atas apa saja yang Allah swt putuskan untuknya. Begitu pula, ia akan sangat kecewa bila tidak bisa bersyukur dan bersabar atas semua ketentuan-Nya.
Uraian singkat ini menunjukkan, bahwa bagi kita umat Islam, yang terpenting dalam berdo'a bukan pada terkabulnya doa, tapi dengan doa itu kita bisa benar-benar menjadi hamba Allah swt, mendekatkan diri pada-Nya; bersyukur dan bersabar atas ketentuan-Nya. Sebab tugas kita adalah mengabdi pada-Nya, menyandarkan segalanya pada Allah swt semata. Sehingga, kita benar-benar memurnikan tauhid, berjiwa bulat hanya kepada-Nya. Perkara dikasih, itu bonus, agar makin tambah keimanan kita. Itu pun, belum tentu sesuai dengan harapan kita, sebab Allah swt Yang Maha Tahu kebutuhan kita. Mari, ikhlaskan diri kita untuk menerima ketentuan-Nya. Wallahu a'lamu bi ash-shawab.
(Kiriman : dari sahabatku Asmu'i Marto)