[Kisah Nyataku] Berjodoh Jika Telah Menikah
Berjodoh Jika Telah Menikah
Sebuah komunikasi, apapun bentuknya, masih sangat mungkin untuk tidak sampai pada sebuah pernikahan. Masih teringat saya akan kejadian yang lalu di mana saat itu banyak janji-janji yang diberikan oleh Sang Calon Suami yang kelak jadi imam dalam keluarga saya. Begitu banyak impian yang saya bangun jika saya sudah berumahtangga, sampai saya berjuang untuk memperbaiki diri menjadi lebih baik dengan bekal ilmu sains dan mendalami terus pengetahuan di bidang ilmu agama Islam. Saya berusaha untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah, karena niat saya ingin melahirkan genarasi rabbani yang cerdas dan memiliki mental dan fisik yang kuat. Oleh sebab itu, saya terus berjuang dan berusaha menjadi yang terbaik agar bisa membimbing anak menjadi yang terbaik juga. Semula hubungan yang kami bangun sangatlah harmonis, dia juga sering komunikasi kepada saya dan keluarga saya. Orangtua saya sudah begitu senang kepadanya, begitu pun hati saya sudah mantap bahwa dia adalah jodoh saya. Saya terus berdo’a untuknya agar rezekinya berlimpah dan berkah, agar aktivitasnya lancar dan Allah memudahkan segala urusannya.
*
Akan tetapi, sebulan sudah berlalu, ada yang aneh pada dirinya. Dia seperti menjauh dari saya. Dalam hati ini berkata, “Ada apa dengannya ya Allah? Saya merasa dia tidak seperti yang dulu lagi, dia sudah berubah selangkah demi selangkah seakan-akan berusaha untuk menjauh dari saya”. Tapi saya selalu berpikir positif, mungkin dia lagi sibuk dengan aktivitasnya yang sangat padat. Alhamdulillah itu membuat saya tenang kembali. Bila hati ini gelisah, saya selalu ingin mengadu pada-Nya. Perhatian-perhatian kecilnya semakin berkurang. Hal itu tidak menyurutkan semangat belajar saya untuk segera menyelesaikan skripsi yang sempat tertunda satu semester karena semua data hilang di dalam laptop saya. Walaupun kondisi masih sangat lemah dengan pendarahan di kulit karena baru proses pemulihan dari sakit, keyakinan saya sangatlah besar bahwa Allah bersama saya dan akan memberikan kekuatan serta pertolongan. Alhamdulillah ujian sidang berhasil dilaksanakan dengan lancar dan keajaiban terjadi, nilai cum laude bisa saya peroleh. Padahal saya sudah pasrah diri, yang penting lulus dan menanti pernikahan yang indah dalam waktu dekat ini. Senyum bahagia pun mengalir dibibir.
“Dag..Dig..Dug.. jantung saya berdebar-debar, ada apa ya Allah? Semoga ini sebuah kebaikan karena besok saya akan wisuda”. Ternyata suara dering handphone saya berbunyi lalu saya melihat ada namanya di depan layar handphone.
“Wah, ada telpon dari Sang Calon Suami”, ucap saya dengan wajah penuh ceria karena sudah lama saya tidak komunikasi dengannya dan saya selalu bersabar menanti kabar darinya. Saat dia mengucapkan salam dan berbicara kepada saya, hati saya sangat perih dan airmata ini mengalir dengan sangat deras. Dia dengan mudahnya berkata, “Ukhti, hubungan komitmen kita berakhir sampai di sini. Saya meminta maaf pada ukhti dan tolong sampaikan maaf saya juga kepada orangtua ukhti.” Secara spontan jantung ini sakit bagai ditusuk sebuah benda. Bagaimana dia bisa mengatakan hal tersebut dikala hari bahagia yang sedang saya nantikan akan tiba.
Dengan coba berjiwa besar, saya pun menanyakan alasan mengapa dia sampai memutuskan hal tersebut. “Ibu saya tidak setuju ukhti karena ukhti terlalu jauh di seberang pulau sana”, gumamnya pada saya dengan perasaan tidak bersalah karena telah menyakiti hati saya.
Saya pun balik membalasnya, “Saya bisa tinggal bersama dengan ibu atau dekat dengan rumah ibu akhi. Nah, kalau begitu bagaimana?”
“Ukhti terlalu istimewa buat saya. Pengetahuan agama ukhti semakin hari semakin melebihi pengetahuan saya dan saya nggak pantas buat ukhti”, ucapnya sambil mendengar tangisanku yang begitu deras. Bagi saya, alasannya tidak bisa diterima dengan akal logika. Bagaimana bisa karena masalah ilmu semua jadi sirna.
“Bukankah menikah itu untuk saling melengkapi kekurangan masing-masing, bukankah saya kelak sebagai seorang ibu akan membimbing anak-anak menjadi generasi yang cerdas dan berakhlak mulia. Tujuan saya meningkatkan ilmu pengetahuan murni untuk Sang Jundi, untuk buah hati yang akan dianugerahkan oleh Allah kepada kita dan bila ada pengetahuan yang akhi tidak bisa maka saya bisa ajari. Kita saling membimbing”, jawab saya dengan suara terisak-isak sambil mengusap hidung yang meler.
Berulang-ulang saya mengatakan hal itu ternyata dia tetap dengan pendiriannya ingin memutuskan komitmen. padahal rencana pernikahan itu sudah semakin dekat. Mudah sekali baginya memutuskan sepihak begitu saja. Mudah saja bermain dalam kata-kata. Apakah komitmen itu engkau anggap sebagai sebuah permainan? Apakah pengorbananku, engkau anggap sia-sia? Apakah setelah manisnya kau isap, lalu engkau terbang begitu saja? Apakah janji awal kita bersatu untuk bahagia sampai ke surga, engkau anggap suatu hal yang biasa saja? Astagfirullah.. Saya berusaha menahan emosi ini dengan kesabaran dan keikhlasan.
*
Betapa sedihnya hati ini ketika berharap tidak bisa memiliki, ketika sudah ta’aruf tidak bisa menikah, apalagi yang sudah komitmen, masih mungkin untuk gagal manuju pernikahan. Bahkan ada yang beberapa hari akadnya tidak bisa menikah juga. Semua telah di atur oleh Allah swt. Saya tidak boleh su’udzon pada-Nya, karena Dia tahu apa yang saya butuhkan bukan apa yang saya inginkan. Dia Yang Maha Berkehendak, bukan berarti saya sebagai hamba-Nya selalu memaksa kehendak pada-Nya.
Beberapa hari setelah wisuda berlangsung, saya berusaha untuk bangkit dari kesedihan yang mendera jiwa ini. “Badai pasti berlalu”, ucap saya dalam hati. Saya pun akhirnya pergi ke toko buku untuk menghilangkan rasa suntuk. Sebab, jika saya membawa beban itu terus-menerus maka hal itu akan semakin meningkat sehingga membuat stress, sakit semakin parah dan hilangnya rasa semangat dalam melakukan sesuatu.
Ketika kaki ini melangkah menuju rak buku novel, mata saya tertuju pada sebuah buku yang judulnya menarik bagi saya, “Don’t cry. Ketika mencintai, tak bisa menikahi.” Karya: Fadhlan Al-Ikhwani.
“Wuih, buku ini sesuai banget dengan perasaaan saya saat ini. Saya akan beli”, ucap saya dalam hati sambil membaca sinopsis dibelakang buku tersebut.
Saya baca buku tersebut sampai membuat hati ini bahagia, ikhlas dan tenang banget. Banyak ilmu yang saya dapatkan dari buku tersebut dan bisa langsung diaplikasikan. Terlepas dari semua itu, ada puisi yang tertuang di dalam buku tersebut dapat memberikan motivasi bagi saya untuk bangkit dari rasa sedih :
"Ya Rabbi, berikanlah hamba kekuatan dalam menjalani lika-liku kehidupan ini. Limpahkanlah kepadanya kasih sayang-Mu. Belas kasih-Mu. Sehingga padanya selalu ada kebaikan". Akhirnya,
Jazakalallah ya..
Kau buat diri ini lebih berprestasi
Kau buat diri ini lebih mandiri
Kau buat diri ini menemukan jati diri
Kau buat diri ini terus semangat dalam bertahan menjadi kuat
Tidak ada maksud bagiku untuk menyusahkanmu
Tidak ada maksud bagiku untuk menyalahkanmu
Aku hanya ingin menjaga kesucian qalbuku
Aku hanya ingin memutus rantai setan yang terus membelenggu
Afwan kalau ada yang salah
Afwan kalau telah mebuatmu susah
Afwan kalau telah menjadikanmu resah
Afwan kalau telah membuatmu gundah dan gelisah
Izinkan diri ini untuk berubah
Aku hanya insan biasa dan lemah
Doakan diri ini supaya tetap istiqomah
Meniti hari-hari di jalan dakwah
Amin..
*
Iman harus terus dijaga supaya tetap merasa bahagia dunia dan akhirat serta terus semangat dalam menjalani lika-liku kehidupan. Walaupun dalam kondisi yankus atau menurun, usahakan tetap menjaganya jangan sampai turun drastis atau tingkat futur.
Tapi seyogyanya bagi setiap ikhwan (laki-laki) kalau hendak ta’ruf apalagi komitmen harus benar-benar siap. Siap dengan segala konsekuensi yang ada, baik secara ilmu, iman, mental, materi, kedewasaan, dan lain sebagainya yang dibutuhkan dalam sebuah pernikahan. Karena ta’aruf apalagi komitmen bukanlah merupakan suatu hal yang dianggap permainan, ia adalah proses menuju pernikahan yang diidamkan bagi seluruh manusia. Hati seorang akhwat (wanita) itu pada dasarnya lemah, rapuh belum lagi jika harus menanggung duka lara, sakit hati bahkan depresi. Sekuat apapun iman seorang akhwat tersebut dapat membuat trauma dalam kehidupannya, apalagi untuk saya yang telah mengalaminya lebih dari sekali.
Saya yakin ini hanyalah episod kehidupan yang menjadi awal kehidupan yang baru. Walaupun kadang saya merasa kesepian, kehilangan, tapi saya masih punya tempat mengadu yaitu Allah Azza wa Jalla dan teman-teman saya yang sholeh/ah serta semua sahabat-sahabat saya yang selalu mendukung dan memberikan motivasi semangat bagi saya. Skenario Allah tidak pernah keliru. Keputusannya tidak pernah salah. Jika seorang manusia menghadapinya dengan positif maka hasilnya juga positif. Saya anggap itu sebuah ujian dari Allah yang akan mendewasakan saya dan menambah semangat. Bila iman masih ada didada maka ketika ujian datang, walaupun secara tiba-tiba datangnya saya siap menerimanya. Allahu Akbar.
No woman no cry and no man no cry. Yakinilah bahwasanya kegagalan cinta yang dialami, tertolaknya cinta yang kita ajukan, sudah dirancang dan ditulis sedemikian rupa skenarionya oleh Allah. Sehingga tidak perlu menyikapinya secara berlebihan.
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui)" (QS. Al Baqarah : 216)
Saya bertekad bahwa sudah saatnya saya siap menempa diri dengan ketabahan dan keuletan serta bersedia atas hal-hal yang menyakitkan, kritikan, sindiran atau zona tidak nyaman lainnya hingga saya menjadi pribadi yang berkualitas dan bercahaya serta meraih kesuksesan dunia dan akhirat.
Untuk menjadi 24 karat, emas harus ditempa dalam bara sedemikian rupa. Untuk menghasilkan mutiara, kerang harus menahan sakit di sekujur tubuhnya. Untuk menjadi kupu-kupu yang indah, ulat pun harus berpuasa dan bertapa. Untuk menjadi cangkir atau guci yang cantik dan indah dari seonggok tanah liat maka pengrajin melemparnya dengan keras ke sebuah roda berputar, diputar-putar hingga pusing, lalu ditinju, dan dimasukkan kedalam perapian, setelah itu menjadi dingin lalu diwarnai dan dibakar, selanjutnya dilap hingga menjadi cantik.
Saya terus berupaya menggali potensi yang ada dalam diri. Mengembangkan kemampuan yang dimiliki, apalagi jika potensi saya dapat menjadi sarana mencari ma’isyah atau nafkah. Lalu menanamkan dalam hati sebuah keyakinan bahwa apapun cobaan yang menimpa diri ini, tetap selalu berlapang dada dan mensyukurinya. Semua harus diupayakan, diperjuangkan, berdoa kemudian tawakkal agar segala impian menjadi kenyataan. Kalau sudah seperti ini, tiada yang namanya kata mundur, tiada sikap menyalahkan, tiada yang namanya jarak yang jauh, tiada yang namanya kesulitan. Karena setiap yang dialami semuanya berproses dan memiliki hikmah.
Seperti yang dikatakan di dalam buku “Kujemput Jodohku”, karangan: Fadhlan Al-Ikhwani yang merupakan buku lanjutan dari “Don’t Cry”:
Tunjukkan pada dunia:
Aku masih mampu berdiri
Aku pasti bisa berprestasi
Akan kupersembahkan sebuah karya indah
Yang akan senantiasa dikenang oleh sejarah
Selangkah tapi pasti
Berfase tapi nyata
Aku pasti mampu
Aku pasti bisa
Tiada yang mustahil dengan kesungguhan
Tiada yang mungkin dengan keseriusan
Aku pasti bisa melakukannya
Aku pasti bisa mewujudkannya.
Sebuah kebahagiaan apabila setiap kegagalan dihadapi dengan bijak dapat membangkitkan segala potensi. Saya akan tunjukkan kepada semuanya, kepada orang yang menyakiti saya, kepada orangtua saya, kepada seluruh sahabat saya, bahwa saya bisa maju dan bangkit dalam berkarya. Kegagalan tidak menjadikan saya lemah atau memutuskan harapan saya, tapi semangat menuju kesuksesan. Alhamdulillah, beberapa karya saya pernah dipublikasikan di eramuslim, leutika.com, di blog yang saya punya dan beberapa tulisan saya yang terpilih seperti puisi "Dasyatnya Perjuangan di Palestina" dimuat di buku antologi Tribute to Palestina dan antologi: "Warna-warni Kehidupan Mengalir dalam Fesbuk" dimuat di dalam buku antologi Berawal dari Facebook Baruku. Karya berjudul: “Merindu Purnama” dimuat di buku kisah mini inspiratif bersama akhi Dirman. Selanjutnya ingin membuat buku sendiri, buku masa depan bersama suami dan memasukkan karya ke beberapa media massa.
Sahabatku, kita tidak perlu menangis/menderita saat hubungan komunikasi itu tidak sampai pada sebuah pernikahan, sebab berarti dia bukan jodoh kita. Ciptakan prestasi dan tetap jalin persaudaraan dengannya.
~ Evi Andriani~
nama pena bersama : ~anbar thea~
Medan, 29 November 2010
Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html
Sebuah komunikasi, apapun bentuknya, masih sangat mungkin untuk tidak sampai pada sebuah pernikahan. Masih teringat saya akan kejadian yang lalu di mana saat itu banyak janji-janji yang diberikan oleh Sang Calon Suami yang kelak jadi imam dalam keluarga saya. Begitu banyak impian yang saya bangun jika saya sudah berumahtangga, sampai saya berjuang untuk memperbaiki diri menjadi lebih baik dengan bekal ilmu sains dan mendalami terus pengetahuan di bidang ilmu agama Islam. Saya berusaha untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah, karena niat saya ingin melahirkan genarasi rabbani yang cerdas dan memiliki mental dan fisik yang kuat. Oleh sebab itu, saya terus berjuang dan berusaha menjadi yang terbaik agar bisa membimbing anak menjadi yang terbaik juga. Semula hubungan yang kami bangun sangatlah harmonis, dia juga sering komunikasi kepada saya dan keluarga saya. Orangtua saya sudah begitu senang kepadanya, begitu pun hati saya sudah mantap bahwa dia adalah jodoh saya. Saya terus berdo’a untuknya agar rezekinya berlimpah dan berkah, agar aktivitasnya lancar dan Allah memudahkan segala urusannya.
*
Akan tetapi, sebulan sudah berlalu, ada yang aneh pada dirinya. Dia seperti menjauh dari saya. Dalam hati ini berkata, “Ada apa dengannya ya Allah? Saya merasa dia tidak seperti yang dulu lagi, dia sudah berubah selangkah demi selangkah seakan-akan berusaha untuk menjauh dari saya”. Tapi saya selalu berpikir positif, mungkin dia lagi sibuk dengan aktivitasnya yang sangat padat. Alhamdulillah itu membuat saya tenang kembali. Bila hati ini gelisah, saya selalu ingin mengadu pada-Nya. Perhatian-perhatian kecilnya semakin berkurang. Hal itu tidak menyurutkan semangat belajar saya untuk segera menyelesaikan skripsi yang sempat tertunda satu semester karena semua data hilang di dalam laptop saya. Walaupun kondisi masih sangat lemah dengan pendarahan di kulit karena baru proses pemulihan dari sakit, keyakinan saya sangatlah besar bahwa Allah bersama saya dan akan memberikan kekuatan serta pertolongan. Alhamdulillah ujian sidang berhasil dilaksanakan dengan lancar dan keajaiban terjadi, nilai cum laude bisa saya peroleh. Padahal saya sudah pasrah diri, yang penting lulus dan menanti pernikahan yang indah dalam waktu dekat ini. Senyum bahagia pun mengalir dibibir.
“Dag..Dig..Dug.. jantung saya berdebar-debar, ada apa ya Allah? Semoga ini sebuah kebaikan karena besok saya akan wisuda”. Ternyata suara dering handphone saya berbunyi lalu saya melihat ada namanya di depan layar handphone.
“Wah, ada telpon dari Sang Calon Suami”, ucap saya dengan wajah penuh ceria karena sudah lama saya tidak komunikasi dengannya dan saya selalu bersabar menanti kabar darinya. Saat dia mengucapkan salam dan berbicara kepada saya, hati saya sangat perih dan airmata ini mengalir dengan sangat deras. Dia dengan mudahnya berkata, “Ukhti, hubungan komitmen kita berakhir sampai di sini. Saya meminta maaf pada ukhti dan tolong sampaikan maaf saya juga kepada orangtua ukhti.” Secara spontan jantung ini sakit bagai ditusuk sebuah benda. Bagaimana dia bisa mengatakan hal tersebut dikala hari bahagia yang sedang saya nantikan akan tiba.
Dengan coba berjiwa besar, saya pun menanyakan alasan mengapa dia sampai memutuskan hal tersebut. “Ibu saya tidak setuju ukhti karena ukhti terlalu jauh di seberang pulau sana”, gumamnya pada saya dengan perasaan tidak bersalah karena telah menyakiti hati saya.
Saya pun balik membalasnya, “Saya bisa tinggal bersama dengan ibu atau dekat dengan rumah ibu akhi. Nah, kalau begitu bagaimana?”
“Ukhti terlalu istimewa buat saya. Pengetahuan agama ukhti semakin hari semakin melebihi pengetahuan saya dan saya nggak pantas buat ukhti”, ucapnya sambil mendengar tangisanku yang begitu deras. Bagi saya, alasannya tidak bisa diterima dengan akal logika. Bagaimana bisa karena masalah ilmu semua jadi sirna.
“Bukankah menikah itu untuk saling melengkapi kekurangan masing-masing, bukankah saya kelak sebagai seorang ibu akan membimbing anak-anak menjadi generasi yang cerdas dan berakhlak mulia. Tujuan saya meningkatkan ilmu pengetahuan murni untuk Sang Jundi, untuk buah hati yang akan dianugerahkan oleh Allah kepada kita dan bila ada pengetahuan yang akhi tidak bisa maka saya bisa ajari. Kita saling membimbing”, jawab saya dengan suara terisak-isak sambil mengusap hidung yang meler.
Berulang-ulang saya mengatakan hal itu ternyata dia tetap dengan pendiriannya ingin memutuskan komitmen. padahal rencana pernikahan itu sudah semakin dekat. Mudah sekali baginya memutuskan sepihak begitu saja. Mudah saja bermain dalam kata-kata. Apakah komitmen itu engkau anggap sebagai sebuah permainan? Apakah pengorbananku, engkau anggap sia-sia? Apakah setelah manisnya kau isap, lalu engkau terbang begitu saja? Apakah janji awal kita bersatu untuk bahagia sampai ke surga, engkau anggap suatu hal yang biasa saja? Astagfirullah.. Saya berusaha menahan emosi ini dengan kesabaran dan keikhlasan.
*
Betapa sedihnya hati ini ketika berharap tidak bisa memiliki, ketika sudah ta’aruf tidak bisa menikah, apalagi yang sudah komitmen, masih mungkin untuk gagal manuju pernikahan. Bahkan ada yang beberapa hari akadnya tidak bisa menikah juga. Semua telah di atur oleh Allah swt. Saya tidak boleh su’udzon pada-Nya, karena Dia tahu apa yang saya butuhkan bukan apa yang saya inginkan. Dia Yang Maha Berkehendak, bukan berarti saya sebagai hamba-Nya selalu memaksa kehendak pada-Nya.
Beberapa hari setelah wisuda berlangsung, saya berusaha untuk bangkit dari kesedihan yang mendera jiwa ini. “Badai pasti berlalu”, ucap saya dalam hati. Saya pun akhirnya pergi ke toko buku untuk menghilangkan rasa suntuk. Sebab, jika saya membawa beban itu terus-menerus maka hal itu akan semakin meningkat sehingga membuat stress, sakit semakin parah dan hilangnya rasa semangat dalam melakukan sesuatu.
Ketika kaki ini melangkah menuju rak buku novel, mata saya tertuju pada sebuah buku yang judulnya menarik bagi saya, “Don’t cry. Ketika mencintai, tak bisa menikahi.” Karya: Fadhlan Al-Ikhwani.
“Wuih, buku ini sesuai banget dengan perasaaan saya saat ini. Saya akan beli”, ucap saya dalam hati sambil membaca sinopsis dibelakang buku tersebut.
Saya baca buku tersebut sampai membuat hati ini bahagia, ikhlas dan tenang banget. Banyak ilmu yang saya dapatkan dari buku tersebut dan bisa langsung diaplikasikan. Terlepas dari semua itu, ada puisi yang tertuang di dalam buku tersebut dapat memberikan motivasi bagi saya untuk bangkit dari rasa sedih :
"Ya Rabbi, berikanlah hamba kekuatan dalam menjalani lika-liku kehidupan ini. Limpahkanlah kepadanya kasih sayang-Mu. Belas kasih-Mu. Sehingga padanya selalu ada kebaikan". Akhirnya,
Jazakalallah ya..
Kau buat diri ini lebih berprestasi
Kau buat diri ini lebih mandiri
Kau buat diri ini menemukan jati diri
Kau buat diri ini terus semangat dalam bertahan menjadi kuat
Tidak ada maksud bagiku untuk menyusahkanmu
Tidak ada maksud bagiku untuk menyalahkanmu
Aku hanya ingin menjaga kesucian qalbuku
Aku hanya ingin memutus rantai setan yang terus membelenggu
Afwan kalau ada yang salah
Afwan kalau telah mebuatmu susah
Afwan kalau telah menjadikanmu resah
Afwan kalau telah membuatmu gundah dan gelisah
Izinkan diri ini untuk berubah
Aku hanya insan biasa dan lemah
Doakan diri ini supaya tetap istiqomah
Meniti hari-hari di jalan dakwah
Amin..
*
Iman harus terus dijaga supaya tetap merasa bahagia dunia dan akhirat serta terus semangat dalam menjalani lika-liku kehidupan. Walaupun dalam kondisi yankus atau menurun, usahakan tetap menjaganya jangan sampai turun drastis atau tingkat futur.
Tapi seyogyanya bagi setiap ikhwan (laki-laki) kalau hendak ta’ruf apalagi komitmen harus benar-benar siap. Siap dengan segala konsekuensi yang ada, baik secara ilmu, iman, mental, materi, kedewasaan, dan lain sebagainya yang dibutuhkan dalam sebuah pernikahan. Karena ta’aruf apalagi komitmen bukanlah merupakan suatu hal yang dianggap permainan, ia adalah proses menuju pernikahan yang diidamkan bagi seluruh manusia. Hati seorang akhwat (wanita) itu pada dasarnya lemah, rapuh belum lagi jika harus menanggung duka lara, sakit hati bahkan depresi. Sekuat apapun iman seorang akhwat tersebut dapat membuat trauma dalam kehidupannya, apalagi untuk saya yang telah mengalaminya lebih dari sekali.
Saya yakin ini hanyalah episod kehidupan yang menjadi awal kehidupan yang baru. Walaupun kadang saya merasa kesepian, kehilangan, tapi saya masih punya tempat mengadu yaitu Allah Azza wa Jalla dan teman-teman saya yang sholeh/ah serta semua sahabat-sahabat saya yang selalu mendukung dan memberikan motivasi semangat bagi saya. Skenario Allah tidak pernah keliru. Keputusannya tidak pernah salah. Jika seorang manusia menghadapinya dengan positif maka hasilnya juga positif. Saya anggap itu sebuah ujian dari Allah yang akan mendewasakan saya dan menambah semangat. Bila iman masih ada didada maka ketika ujian datang, walaupun secara tiba-tiba datangnya saya siap menerimanya. Allahu Akbar.
No woman no cry and no man no cry. Yakinilah bahwasanya kegagalan cinta yang dialami, tertolaknya cinta yang kita ajukan, sudah dirancang dan ditulis sedemikian rupa skenarionya oleh Allah. Sehingga tidak perlu menyikapinya secara berlebihan.
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui)" (QS. Al Baqarah : 216)
Saya bertekad bahwa sudah saatnya saya siap menempa diri dengan ketabahan dan keuletan serta bersedia atas hal-hal yang menyakitkan, kritikan, sindiran atau zona tidak nyaman lainnya hingga saya menjadi pribadi yang berkualitas dan bercahaya serta meraih kesuksesan dunia dan akhirat.
Untuk menjadi 24 karat, emas harus ditempa dalam bara sedemikian rupa. Untuk menghasilkan mutiara, kerang harus menahan sakit di sekujur tubuhnya. Untuk menjadi kupu-kupu yang indah, ulat pun harus berpuasa dan bertapa. Untuk menjadi cangkir atau guci yang cantik dan indah dari seonggok tanah liat maka pengrajin melemparnya dengan keras ke sebuah roda berputar, diputar-putar hingga pusing, lalu ditinju, dan dimasukkan kedalam perapian, setelah itu menjadi dingin lalu diwarnai dan dibakar, selanjutnya dilap hingga menjadi cantik.
Saya terus berupaya menggali potensi yang ada dalam diri. Mengembangkan kemampuan yang dimiliki, apalagi jika potensi saya dapat menjadi sarana mencari ma’isyah atau nafkah. Lalu menanamkan dalam hati sebuah keyakinan bahwa apapun cobaan yang menimpa diri ini, tetap selalu berlapang dada dan mensyukurinya. Semua harus diupayakan, diperjuangkan, berdoa kemudian tawakkal agar segala impian menjadi kenyataan. Kalau sudah seperti ini, tiada yang namanya kata mundur, tiada sikap menyalahkan, tiada yang namanya jarak yang jauh, tiada yang namanya kesulitan. Karena setiap yang dialami semuanya berproses dan memiliki hikmah.
Seperti yang dikatakan di dalam buku “Kujemput Jodohku”, karangan: Fadhlan Al-Ikhwani yang merupakan buku lanjutan dari “Don’t Cry”:
Tunjukkan pada dunia:
Aku masih mampu berdiri
Aku pasti bisa berprestasi
Akan kupersembahkan sebuah karya indah
Yang akan senantiasa dikenang oleh sejarah
Selangkah tapi pasti
Berfase tapi nyata
Aku pasti mampu
Aku pasti bisa
Tiada yang mustahil dengan kesungguhan
Tiada yang mungkin dengan keseriusan
Aku pasti bisa melakukannya
Aku pasti bisa mewujudkannya.
Sebuah kebahagiaan apabila setiap kegagalan dihadapi dengan bijak dapat membangkitkan segala potensi. Saya akan tunjukkan kepada semuanya, kepada orang yang menyakiti saya, kepada orangtua saya, kepada seluruh sahabat saya, bahwa saya bisa maju dan bangkit dalam berkarya. Kegagalan tidak menjadikan saya lemah atau memutuskan harapan saya, tapi semangat menuju kesuksesan. Alhamdulillah, beberapa karya saya pernah dipublikasikan di eramuslim, leutika.com, di blog yang saya punya dan beberapa tulisan saya yang terpilih seperti puisi "Dasyatnya Perjuangan di Palestina" dimuat di buku antologi Tribute to Palestina dan antologi: "Warna-warni Kehidupan Mengalir dalam Fesbuk" dimuat di dalam buku antologi Berawal dari Facebook Baruku. Karya berjudul: “Merindu Purnama” dimuat di buku kisah mini inspiratif bersama akhi Dirman. Selanjutnya ingin membuat buku sendiri, buku masa depan bersama suami dan memasukkan karya ke beberapa media massa.
Sahabatku, kita tidak perlu menangis/menderita saat hubungan komunikasi itu tidak sampai pada sebuah pernikahan, sebab berarti dia bukan jodoh kita. Ciptakan prestasi dan tetap jalin persaudaraan dengannya.
~ Evi Andriani~
nama pena bersama : ~anbar thea~
Medan, 29 November 2010
Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html