Makna Hijrah Peradaban
Makna Hijrah Peradaban
Oleh: Kholili Hasib
Pergantian kalender Hijriyah merupakan momentum untuk melakukan perubahan yang lebih baik, menutup tabir jahiliyah menuju pola peradaban yang mencerahkan. Tema ini mengambil ibrah hijrahnya Rasulullah SAW dari kota Makkah menuju Madinah. Setidaknya ada satu makna penting dari peristiwa bersejarah ini, yaitu Rasulullah SAW telah melakukan hijrah peradaban. Tidak sekedar hijrah secara fisik, namun yang paling penting dari itu adalah hijrah ruhiyah. Hijrah ruhiyah ini merefleksikan dua perubahan fundamental untuk membangun peradaban manusia. Yakni, hijrah fikriyah dan madaniyah.
Rasulullah SAW telah mempersiapkan matang-matang jauh hari di kota Makkah sebelum hijrah ke Madinah. Penguatan basic-faith merupakan aktifitas esensial yang dilakukan oleh Rasulullah SAW di Makkah. Sebab, basic-faith menentukan bentuk pola pikir dan prilaku manusia. Dalam pandangan Ninian Smart, cara pandang atau basic pemikiran manusia melihat realitas dan kepercayaan befungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral.
Maka, untuk membangun sebuah peradaban yang bermartabat langkah utama yang ditempuh pertama-pertama adalah melakukan hijrah fikriyah. Melakukan perubahan fundamental dari pola pikir badhawah (primitif) menjadi mode pemikiran yang hadharah (berperadaban).
Merubah Pola Pikir Badhawah
Dalam teori Ibn Khaldun, di dalam suatu negara terdapat siklus timbul dan tenggelam serta benturan antara badhawah dan hadharah. Pada mula terbentuk negara, ciri khas pola badhawah biasanya masih mendominasi yakni keberanian untuk merampas milik orang lain. Pada tahap ini pemimpin cenderung memiliki sifat despotisme (lalim), monopoli kemewahan dan kemegahan dan berusaha menjauhkan kawan agar tidak direbut kekuasaannya.
Artinya, jika kedzaliman masih dominan apalagi pada level penguasa, maka negara itu belum mencapai kematangan, masih pada tahap pencarian bentuk untuk membentuk peradaban kota. Maka, dengan perspektif teori Ibnu Khaldun tersebut manakala negara kita masih didominasi pola berkuasa yang dzalim, korup, tidak beradab, dan masih banyaknya kerancuan berpikir, maka sebenarnya kita belum menegakkan sebuah negara yang benar-benar negara.
Pola berpikir badhawah dalam istilah Syed Naquib al-Attas disebut the loss of adab (ketiadaan adab). Kehilangan adab akan memicu kerancuan epistemologi, munculnya segala bentuk sofisme dan berlakunya ketidakadilan baik di bidang sosial masyarakat, politik lebih-lebih ketidakadilan di bidang ilmu – sebagai faktor utama penggerak berpikir. Manakalah konsep-konsep ilmu tidak ditempatkan secara tepat, maka akan merusak tatanan moral dan rusaknya bidang ilmu pengetahuan (corruption of knowledge). Untuk itu, cara berpikir yang badhawah harus diubah dengan meningkatkan tradisi ilmu dalam masyarakat.
Makanya, dalam peradaban Islam, tradisi ilmu merupakan substansi terpenting. Menurut Ibnu Khaldun, tanda tegaknya peradaban adalah berkembangnya ilmu pengetahuan, baik sains maupun agama. Dalam perjalanannya, tradisi keilmuan selalu dikawal oleh konsep iman. Bagi seorang muslim, akidah Islam menjadi basis sebuah proses memperoleh pengetahuan.
Cara berpikir muslim beradab mestinya dihubungkan dengan konsepsi ketuhanan. Wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad SAW menjunjukkan hal itu. “Bacalah dengan Nama Tuhanmu” (QS. Al-‘Alaq:1) memberi pelajaran bahwa mencari ilmu (bacalah) harus disertai konsepsi tentang keyakinan kepada Tuhan. Pembacaan tidak boleh sekularistik, lepas dari aturan dan ingatan kepada-Nya. Ini semua menunjukkan bahwa elemen-elemen dasar membangun peradaban itu adalah dengan pembentukan pola berpikir yang mendasar (hijrah fikriyah) kemudian pola ini dibangun dengan tradisi keilmuan yang dibimbing oleh akidah.
Menuju Pemikiran Hadhari
Berarti pola hadharah itu tidak sekedar ditandai dengan kemajuan variabel-variabel fisik kota, kemewahan, kemegahan, dan kesuburan tanah saja. Sebuah negara dinilai sebagai negara beradab jika telah berubah menjadi pola hadlarah. Masyarakat hadlari adalah masyarakat perkotaan yang bermoral. Menurut Ibnu Khaldun kehancuran negara berkaitan dengan bobroknya moralitas penguasa dan masyarakat kota. Artinya, perkembangan negara dinilai dengan pertimbangan-pertimbangan moral dan agama.
Sejalan dengan itu, Sayyid Qutb juga mengatakan bahwa agama dan keyakinan adalah asas segala peradaban. Iman, menurut Sayyid Qutb adalah mashdaru al-hadharah (sumber peradaban). Iman yang juga elemen utama karakteristik konsep Islam secara prinsipil membentuk organisasi keilmuan yang didukung oleh taqwa, pengembangan nilai-nilai kemanusiaan, menjaga dari keinginan hewani, menyadari fungsinya sebagai khalifah Allah di bumi berdasarkan petunjuak dan perintah-Nya.
Prinsip-prinsip Islam tersebut membentuk sebuah organisasi masyarakat Islam, yang disebut masyarakat madani – yakni masyarakat yang dibentuk oleh Rasulullah SAW di kota Madinah. Bisa dikakatan di sini bahwa Islam itu tidak sekedar ritual agama, tapi Islam sejak awal adalah sebagai peradaban.
Islam sebagai konsep din (agama) adalah hakikatnya mengandung misi sebagai peradaban. Sebab kata din sendiri memiliki keterkaitan secara linguistik dengan kata madinah dan madani/tamaddun. Keterkaitan derivatif ini juga memiliki hubungan konseptual. Islam sebagai satu-satunya agama berkonsep Din mengikuti pola atau bentuk yang menjadi acuan Allah SWT dalam memerintah yang merupakan peniruan dari sistem kosmik yang diwujudkan dalam kehidupan di dunia sebagai sistem sosial, budaya, politik dan elemen-eleman lainnya secara menyeruluh.
Kata din berasal dari akar kata dayana, yang memiliki beragam tapi terkait satu sama lain; yaitu bermakna berhutang, penyerahan diri, kuasa peradilan, dan kecenderungan alami mengikuti fitrah manusia yang beriman. Hakikat keadaan berhutang adalah wujud dan eksistensi manusia di dunia yang penuh kenikmatan fisikal dan spiritual. Mulanya, manusia itu dalam kerugian. Yakni lahir tanpa memiliki suatu apapun. ”Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian” (QS.al-’Ashri: 2). Manusia beriman akan sadar bahwa segala sesuatu tentang dirinya, apa yang ada pada dirinya dan darinya sesungguhnya dimiliki oleh Sang Pencipta Yang Memiliki segala sesuatu.
Manusia yang beriman tidak sekedar merasa berhutang pada yang Maha Kuasa, tetapi kesadaran memiliki hutang diwujudkan dengan penyerahan diri (aslama). Dalam konsep Din, penyerahan tidak sekedar menyerahkan tanpa aturan. Konsep penyerahan diri barangkali umumnya dapat ditemukan di semua agama. Akan tetapi tidak semua agama menetapkan suatu penyerahan diri yang sesungghuhnya. Ada mekanisme teratur dalam melaksanakan penyerahan itu, yang tercermin dalam aturan syari’at.
Yang berbeda dengan agama lain, penyerahan diri menurut konsep Islam adalah penyerahan yang tulus dan menyeluruh menurut kehendak Allah dijalankan dengan sepenuh hati dengan ketaatan secara mutlak terhadap hukum yang diwahyukan oleh-Nya. Jadi syarat penyerahan diri itu adalah; kaffah tidak parsial, sesuai kehendak Allah bukan kehendak manusia, taat pada hukum sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an. Selain syarat ini, bukan konsep penyerahan diri secara Islam.
Inlah cara ’membayar hutang’. Ada mekanismenya. Mekanisme itu telah terlengkapi dengan acuan-acuan yang mengarahkan manusia menjadi manusia agung dan bebas. Bebas dari belenggu penjara nafsu. Makanya, kita mesti menyadari secara mutlak, bahwa kita tak memiliki apaun untuk membayar hutang kecuali dengan mekanisme yang telah terberi itu.
Diri manusia sendiri adalah hutang yang harus dikembalikan kepada Sang Pemilik. Mengembalikan hutang bermakna menjadikan dirinya dalam keadaan khidmat atau menghambakan diri kepada Allah. Konsep mengembalikan inilah yang telah wujud pada struktur konseptual istilah Din.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa dalam istilah din tersimpan suatu sistem kehidupan manusia yang terstruktur dengan baik. Oleh karena itulah, maka ketika din ini disempurnakan oleh Nabi Muhammad SAW dan dilaksanakan di suatu kota maka kota ini lantas disebut dengan Madinah (kota beragama/berperadaban). Kata madinah berasal dari kata yang sama dengan din, yaitu dayana. Kemudian kata ini membentuk kata baru yaitu madana, yang artinya membangun kota dan memajukan. Sehingga dari sinilah kemudian lahir kata tamaddun yang sering diterjemahkan dengan peradaban.
Dengan pemahaman Islam sebagai sebuah peradaban, maka yang perlu kita lakukan saat ini adalah langkah pertama, yaitu melakukan hijrah fikriyah. Pola pikir badhawah (primitif) harus diberantas. Saat pola fikir kita menjadi hadhari maka, saat itulah kita berada di pintu masuk era madaniyah - tahap dimana, manusia memiliki peradaban yang bermartabat. Inilah esensi hijrah ruhiyah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.
(Kiriman dari sahabat saya : kholili hasib, Mahasiswa Pascasarjaran ISID Gontor)
www.inpasonline.com Rabu, 08 Desember 2010 09:32
Oleh: Kholili Hasib
Pergantian kalender Hijriyah merupakan momentum untuk melakukan perubahan yang lebih baik, menutup tabir jahiliyah menuju pola peradaban yang mencerahkan. Tema ini mengambil ibrah hijrahnya Rasulullah SAW dari kota Makkah menuju Madinah. Setidaknya ada satu makna penting dari peristiwa bersejarah ini, yaitu Rasulullah SAW telah melakukan hijrah peradaban. Tidak sekedar hijrah secara fisik, namun yang paling penting dari itu adalah hijrah ruhiyah. Hijrah ruhiyah ini merefleksikan dua perubahan fundamental untuk membangun peradaban manusia. Yakni, hijrah fikriyah dan madaniyah.
Rasulullah SAW telah mempersiapkan matang-matang jauh hari di kota Makkah sebelum hijrah ke Madinah. Penguatan basic-faith merupakan aktifitas esensial yang dilakukan oleh Rasulullah SAW di Makkah. Sebab, basic-faith menentukan bentuk pola pikir dan prilaku manusia. Dalam pandangan Ninian Smart, cara pandang atau basic pemikiran manusia melihat realitas dan kepercayaan befungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral.
Maka, untuk membangun sebuah peradaban yang bermartabat langkah utama yang ditempuh pertama-pertama adalah melakukan hijrah fikriyah. Melakukan perubahan fundamental dari pola pikir badhawah (primitif) menjadi mode pemikiran yang hadharah (berperadaban).
Merubah Pola Pikir Badhawah
Dalam teori Ibn Khaldun, di dalam suatu negara terdapat siklus timbul dan tenggelam serta benturan antara badhawah dan hadharah. Pada mula terbentuk negara, ciri khas pola badhawah biasanya masih mendominasi yakni keberanian untuk merampas milik orang lain. Pada tahap ini pemimpin cenderung memiliki sifat despotisme (lalim), monopoli kemewahan dan kemegahan dan berusaha menjauhkan kawan agar tidak direbut kekuasaannya.
Artinya, jika kedzaliman masih dominan apalagi pada level penguasa, maka negara itu belum mencapai kematangan, masih pada tahap pencarian bentuk untuk membentuk peradaban kota. Maka, dengan perspektif teori Ibnu Khaldun tersebut manakala negara kita masih didominasi pola berkuasa yang dzalim, korup, tidak beradab, dan masih banyaknya kerancuan berpikir, maka sebenarnya kita belum menegakkan sebuah negara yang benar-benar negara.
Pola berpikir badhawah dalam istilah Syed Naquib al-Attas disebut the loss of adab (ketiadaan adab). Kehilangan adab akan memicu kerancuan epistemologi, munculnya segala bentuk sofisme dan berlakunya ketidakadilan baik di bidang sosial masyarakat, politik lebih-lebih ketidakadilan di bidang ilmu – sebagai faktor utama penggerak berpikir. Manakalah konsep-konsep ilmu tidak ditempatkan secara tepat, maka akan merusak tatanan moral dan rusaknya bidang ilmu pengetahuan (corruption of knowledge). Untuk itu, cara berpikir yang badhawah harus diubah dengan meningkatkan tradisi ilmu dalam masyarakat.
Makanya, dalam peradaban Islam, tradisi ilmu merupakan substansi terpenting. Menurut Ibnu Khaldun, tanda tegaknya peradaban adalah berkembangnya ilmu pengetahuan, baik sains maupun agama. Dalam perjalanannya, tradisi keilmuan selalu dikawal oleh konsep iman. Bagi seorang muslim, akidah Islam menjadi basis sebuah proses memperoleh pengetahuan.
Cara berpikir muslim beradab mestinya dihubungkan dengan konsepsi ketuhanan. Wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad SAW menjunjukkan hal itu. “Bacalah dengan Nama Tuhanmu” (QS. Al-‘Alaq:1) memberi pelajaran bahwa mencari ilmu (bacalah) harus disertai konsepsi tentang keyakinan kepada Tuhan. Pembacaan tidak boleh sekularistik, lepas dari aturan dan ingatan kepada-Nya. Ini semua menunjukkan bahwa elemen-elemen dasar membangun peradaban itu adalah dengan pembentukan pola berpikir yang mendasar (hijrah fikriyah) kemudian pola ini dibangun dengan tradisi keilmuan yang dibimbing oleh akidah.
Menuju Pemikiran Hadhari
Berarti pola hadharah itu tidak sekedar ditandai dengan kemajuan variabel-variabel fisik kota, kemewahan, kemegahan, dan kesuburan tanah saja. Sebuah negara dinilai sebagai negara beradab jika telah berubah menjadi pola hadlarah. Masyarakat hadlari adalah masyarakat perkotaan yang bermoral. Menurut Ibnu Khaldun kehancuran negara berkaitan dengan bobroknya moralitas penguasa dan masyarakat kota. Artinya, perkembangan negara dinilai dengan pertimbangan-pertimbangan moral dan agama.
Sejalan dengan itu, Sayyid Qutb juga mengatakan bahwa agama dan keyakinan adalah asas segala peradaban. Iman, menurut Sayyid Qutb adalah mashdaru al-hadharah (sumber peradaban). Iman yang juga elemen utama karakteristik konsep Islam secara prinsipil membentuk organisasi keilmuan yang didukung oleh taqwa, pengembangan nilai-nilai kemanusiaan, menjaga dari keinginan hewani, menyadari fungsinya sebagai khalifah Allah di bumi berdasarkan petunjuak dan perintah-Nya.
Prinsip-prinsip Islam tersebut membentuk sebuah organisasi masyarakat Islam, yang disebut masyarakat madani – yakni masyarakat yang dibentuk oleh Rasulullah SAW di kota Madinah. Bisa dikakatan di sini bahwa Islam itu tidak sekedar ritual agama, tapi Islam sejak awal adalah sebagai peradaban.
Islam sebagai konsep din (agama) adalah hakikatnya mengandung misi sebagai peradaban. Sebab kata din sendiri memiliki keterkaitan secara linguistik dengan kata madinah dan madani/tamaddun. Keterkaitan derivatif ini juga memiliki hubungan konseptual. Islam sebagai satu-satunya agama berkonsep Din mengikuti pola atau bentuk yang menjadi acuan Allah SWT dalam memerintah yang merupakan peniruan dari sistem kosmik yang diwujudkan dalam kehidupan di dunia sebagai sistem sosial, budaya, politik dan elemen-eleman lainnya secara menyeruluh.
Kata din berasal dari akar kata dayana, yang memiliki beragam tapi terkait satu sama lain; yaitu bermakna berhutang, penyerahan diri, kuasa peradilan, dan kecenderungan alami mengikuti fitrah manusia yang beriman. Hakikat keadaan berhutang adalah wujud dan eksistensi manusia di dunia yang penuh kenikmatan fisikal dan spiritual. Mulanya, manusia itu dalam kerugian. Yakni lahir tanpa memiliki suatu apapun. ”Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian” (QS.al-’Ashri: 2). Manusia beriman akan sadar bahwa segala sesuatu tentang dirinya, apa yang ada pada dirinya dan darinya sesungguhnya dimiliki oleh Sang Pencipta Yang Memiliki segala sesuatu.
Manusia yang beriman tidak sekedar merasa berhutang pada yang Maha Kuasa, tetapi kesadaran memiliki hutang diwujudkan dengan penyerahan diri (aslama). Dalam konsep Din, penyerahan tidak sekedar menyerahkan tanpa aturan. Konsep penyerahan diri barangkali umumnya dapat ditemukan di semua agama. Akan tetapi tidak semua agama menetapkan suatu penyerahan diri yang sesungghuhnya. Ada mekanisme teratur dalam melaksanakan penyerahan itu, yang tercermin dalam aturan syari’at.
Yang berbeda dengan agama lain, penyerahan diri menurut konsep Islam adalah penyerahan yang tulus dan menyeluruh menurut kehendak Allah dijalankan dengan sepenuh hati dengan ketaatan secara mutlak terhadap hukum yang diwahyukan oleh-Nya. Jadi syarat penyerahan diri itu adalah; kaffah tidak parsial, sesuai kehendak Allah bukan kehendak manusia, taat pada hukum sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an. Selain syarat ini, bukan konsep penyerahan diri secara Islam.
Inlah cara ’membayar hutang’. Ada mekanismenya. Mekanisme itu telah terlengkapi dengan acuan-acuan yang mengarahkan manusia menjadi manusia agung dan bebas. Bebas dari belenggu penjara nafsu. Makanya, kita mesti menyadari secara mutlak, bahwa kita tak memiliki apaun untuk membayar hutang kecuali dengan mekanisme yang telah terberi itu.
Diri manusia sendiri adalah hutang yang harus dikembalikan kepada Sang Pemilik. Mengembalikan hutang bermakna menjadikan dirinya dalam keadaan khidmat atau menghambakan diri kepada Allah. Konsep mengembalikan inilah yang telah wujud pada struktur konseptual istilah Din.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa dalam istilah din tersimpan suatu sistem kehidupan manusia yang terstruktur dengan baik. Oleh karena itulah, maka ketika din ini disempurnakan oleh Nabi Muhammad SAW dan dilaksanakan di suatu kota maka kota ini lantas disebut dengan Madinah (kota beragama/berperadaban). Kata madinah berasal dari kata yang sama dengan din, yaitu dayana. Kemudian kata ini membentuk kata baru yaitu madana, yang artinya membangun kota dan memajukan. Sehingga dari sinilah kemudian lahir kata tamaddun yang sering diterjemahkan dengan peradaban.
Dengan pemahaman Islam sebagai sebuah peradaban, maka yang perlu kita lakukan saat ini adalah langkah pertama, yaitu melakukan hijrah fikriyah. Pola pikir badhawah (primitif) harus diberantas. Saat pola fikir kita menjadi hadhari maka, saat itulah kita berada di pintu masuk era madaniyah - tahap dimana, manusia memiliki peradaban yang bermartabat. Inilah esensi hijrah ruhiyah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.
(Kiriman dari sahabat saya : kholili hasib, Mahasiswa Pascasarjaran ISID Gontor)
www.inpasonline.com Rabu, 08 Desember 2010 09:32