Mengembalikan Tradisi Ilmu Islam
Kini, kejahilan bukan saja kekurangan ilmu, akan tetapi kekacauan ilmu (confusion of knowledge)
Oleh: Kholili Hasib
Ilmu adalah motor penggerak pemikiran dan aktifitas manusia. Tinggi rendahnya martabat manusia ditentukan oleh faktor ilmu. Karena itu, ilmu memiliki perhatian penting dalam tradisi Islam. Hal tersebut misalnya, dapat dilihat, Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wassalam dan generasi gemilang setelahnya, dalam setiap episode historisnya selalu memberi titik berat kepada pengembangan tradisi keilmuan. Sebabnya, epistemologi – yang menjadi kerangka ilmu – adalah sentra aktifitas manusia.
Hasil pemikiran manusia yang berasas epistemologi kokoh tentu tidak lah sama dengan produk pemikiran manusia yang kerangka keilmuannya tidak jelas, atau bahkan salah. Oleh karena itulah, sejak zaman Nabi Muhammad, tradisi ilmiah tumbuh dan berkembang. Salah satunya yang terkenal adalah, komunitas Ilmiah Ashabu al-Suffah. Tradisi intelektual zaman Nabi Muhammad tersebut dapat dibuktikan dengan wujudnya madrasah Ashabu al-Suffah yang diikuti oleh sekitar 70 orang sahabat Nabi SAW.
Sekolah Rasulullah yang pertama tersebut didirikan sekitar kurang lebih 17 bulan sesudah Hijrah telah melahirkan generasi sahabat yang memiliki tingkat intelektualitas yang hebat, seperti Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifari, Salman al-Farisi, dan Abdullah bin Mas’ud. Peran madrasah ini begitu sentral, sebab, dari komunitas kajian ilmu inilah pandangan hidup Islam (Islamic Worldview) tersistemasi yang berasas al-Qur’an dan al-Sunnah. Ada sesuatu yang berbeda di madrasah itu ketika bulan suci datang. Kajian-kajian ilmu itu, memberi tekanan khusus pada pendalaman al-Qur’an setiap bulan suci Ramadlan. Memasuki bulan Ramadlan, kajian-kajian tentang al-Qur’an menjadi semakin meningkat dan diikuti oleh para sahabat lain. Hingga, tradisi ini turun-temurun dicontoh oleh kaum muslimin di penjuru dunia hingga generasi sekarang.
Tradisi keilmuan di madrasah Ashabu al-Suffah tersebut diteruskan dan dikembangkan, sampai akhirnya peradaban Islam mampu menghegemoni dunia yang membentuk mental keilmuan seorang muslim. Seorang Orientalis, Fitcha, menggambarkan tradisi ilmu di Cordoba begitu hebat, hingga ia menyimpulkan, Islam itu gemar membaca dan menulis dan Islam adalah agama yang mendorong pemeluknya untuk memperolah pengetahuan. Kekagaman Fitcha cukup beralasan, sebab di Cordova itu terdapat sebuah tempat untuk menyalin buku, yang menggunakan 200 lebih gerobak, yang digunakan untuk memindahkan buku-buku, yang diperuntukkan kepada mereka yang membutuhkan buku-buku langka untuk disalin.
Kembali kepada ilmu yang benar
Kegiatan ilmu adalah aktifitas sangat tinggi nilainya di sisi Allah Subhanahu wata’ala. Melalui ilmulah manusia dapat mengenal Allah dan memahami cara beribadah kepada-Nya dengan benar.
Tradisi keilmuan ini perlu dibiasakan, mengingat tantangan terbesar muslim kontemporer menurut Prof. Al-Attas adalah rusaknya Ilmu. Rusaknya konsep ilmu akan berkonsekuensi pada kerusakan pemikiran dan metode memahami Islam. Apalagi, sebagaimana difatwakan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, kerusakan umat diakibatkan oleh kejahatan intelektual muslim (ulama’). ”Seburuk-buruk manusia adalah ulama yang buruk”, kata Rasulullah.
Oleh sebab itu, diskusi ilmu dan kajian ilmiah tak kalah mulyanya dengan ibadah shalat dan sedekah di bulan Ramadlan. Bahkan pada masa dimana kerusakan ilmu merajalela, kajian ilmiah barangkali lebih utama. Ditegaskan oleh Ibnu Abbas ”Mendiskusikan ilmu pada sebagian malam lebih saya sukai daripada menghidupkan malam itu.” Apalagi pada masa kini, kejahilan tidak sama dengan kejahilan yang pernah dialami oleh ulama’-ulama dahulu.
Kini, kejahilan bukan saja kekurangan ilmu, akan tetapi kekacauan ilmu (confusion of knowledge). Kekacauan ilmu ini akibat invasi konsep-konsep sekular yang menghegemoni studi-studi Islam.
Menurut al-Attas, invasi Barat ke dunia Islam menyebabkan kerugian tidak sekedar fisik, tapi juga pergeseran cara pandang, utamanya cara pandang keilmuan. Salah satu isu penting dalam keilmuan adalah sumber-sumber ilmu.
Jalur utama mendapat ilmu menurut Barat modern adalah panca indera dan nalar belaka. Karena sumber ilmu menurut Barat hanya terbatas pada panca indera dan akal saja, maka produk-produk keilmuan yang dianggap layak sebagai sarana hidup juga terbatas kepada yang bisa dicerna oleh panca indera dan dinalar oleh akal.
Dengan pola pikir seperti ini, ilmu-ilmu yang berbasis wahyu teriliminasi dan dianggap tidak layak menyelesaikan masalah kehidupan manusia. Ironisnya, pemikiran ini juga menjangkiti umat islam. Sebagai bukti, ketika melihat pendidikan misalnya, maka jurusan yang dipilih adalah jurusan yang menjanjikan pekerjaan. Hingga seakan-akan tujuan pendidikan bukan lagi mendidik, tapi dunia kerja.
Ini juga tidak saja terjadi pada jurusan-jurusan berbasis umum, jurusan agama juga mengalami hal yang sama, yaitu orientasi bukan ilmu, tapi orientasi materi. Inilah yang kata al-Attas telah terjadi pergeseran tentang posisi ilmu yaitu, mana yang utama dan yang sampingan. Al-Attas menyebutnya ilmu fardu ‘ain dan fardu kifayah. Umat tidak paham mana yang pertama dan mana yang kedua. Kalaupun paham, masih juga mengutamakan yang kedua dan meninggalkan yang pertama karena yang nampak di depan mereka materi yang akan diperoleh nantinya
Lalu bagaimana sebaiknya memahami sumber-sumber ilmu ini? Al-Attas merangkum dari beberapa arus pemikiran keilmuan para ulama, mulai dari para ulama mutkallimin, ulama tasawwuf, dari ulama falsafah, seperti al-Nasafi, Ibn Arabi, al-Ghazali, Ibn Sina dan lain-lain. Maka bagi al-Attas, manusia boleh mendapatkan ilmu itu melalui: informasi yang benar (khabar shadiq), intuition (hads dan ilham), intelek (’aqal), dan indera (hawas).
Bagi Islam, semua sumber ilmu tidak bertentangan satu sama lainnya dan saling berhubungan. Namun demikian, masing-masing sumber ilmu itu mempunyai otoritasnya dan posisi serta derajatnya. Yang tertinggi adalah informasi yang benar, yang dalam kategori ini adalah wahyu. Sedangkan yang terendah adalah indera. Diantara yang tertinggi dan terendah, disitulah letaknya akal dan intuisi.
Dengan kesepaduan sumber ilmu dalam Islam, ulama terdahulu telah menghasilkan berbagai macam keilmuan yang kaya raya, yang membuat decak kagum manusia seluruh dunia. Maka tak heran kalau orang mengatakan, ”Ex Oriente Lux” (Dari Timur Muncul Cahaya).
Sebaliknya, dengan terpengaruh oleh arus cara hidup dan cara pikir modern yang memporak porandakan sumber-sumber ilmu dalam Islam, umat Islam kini terbelakang dan oleh karenanya miskin produktifitas ilmu. Dengan demikian, salah satu jalan keluar terpenting bagi keterbelakangan umat ini adalah kembali lagi kepada sumber ilmu yang betul, lengkap dan mapan sesuai dengan yang dicontohkan oleh para pendahulu umat Islam.
(Kiriman dari : sahabatku Kholili Hasib)
Oleh: Kholili Hasib
Ilmu adalah motor penggerak pemikiran dan aktifitas manusia. Tinggi rendahnya martabat manusia ditentukan oleh faktor ilmu. Karena itu, ilmu memiliki perhatian penting dalam tradisi Islam. Hal tersebut misalnya, dapat dilihat, Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wassalam dan generasi gemilang setelahnya, dalam setiap episode historisnya selalu memberi titik berat kepada pengembangan tradisi keilmuan. Sebabnya, epistemologi – yang menjadi kerangka ilmu – adalah sentra aktifitas manusia.
Hasil pemikiran manusia yang berasas epistemologi kokoh tentu tidak lah sama dengan produk pemikiran manusia yang kerangka keilmuannya tidak jelas, atau bahkan salah. Oleh karena itulah, sejak zaman Nabi Muhammad, tradisi ilmiah tumbuh dan berkembang. Salah satunya yang terkenal adalah, komunitas Ilmiah Ashabu al-Suffah. Tradisi intelektual zaman Nabi Muhammad tersebut dapat dibuktikan dengan wujudnya madrasah Ashabu al-Suffah yang diikuti oleh sekitar 70 orang sahabat Nabi SAW.
Sekolah Rasulullah yang pertama tersebut didirikan sekitar kurang lebih 17 bulan sesudah Hijrah telah melahirkan generasi sahabat yang memiliki tingkat intelektualitas yang hebat, seperti Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifari, Salman al-Farisi, dan Abdullah bin Mas’ud. Peran madrasah ini begitu sentral, sebab, dari komunitas kajian ilmu inilah pandangan hidup Islam (Islamic Worldview) tersistemasi yang berasas al-Qur’an dan al-Sunnah. Ada sesuatu yang berbeda di madrasah itu ketika bulan suci datang. Kajian-kajian ilmu itu, memberi tekanan khusus pada pendalaman al-Qur’an setiap bulan suci Ramadlan. Memasuki bulan Ramadlan, kajian-kajian tentang al-Qur’an menjadi semakin meningkat dan diikuti oleh para sahabat lain. Hingga, tradisi ini turun-temurun dicontoh oleh kaum muslimin di penjuru dunia hingga generasi sekarang.
Tradisi keilmuan di madrasah Ashabu al-Suffah tersebut diteruskan dan dikembangkan, sampai akhirnya peradaban Islam mampu menghegemoni dunia yang membentuk mental keilmuan seorang muslim. Seorang Orientalis, Fitcha, menggambarkan tradisi ilmu di Cordoba begitu hebat, hingga ia menyimpulkan, Islam itu gemar membaca dan menulis dan Islam adalah agama yang mendorong pemeluknya untuk memperolah pengetahuan. Kekagaman Fitcha cukup beralasan, sebab di Cordova itu terdapat sebuah tempat untuk menyalin buku, yang menggunakan 200 lebih gerobak, yang digunakan untuk memindahkan buku-buku, yang diperuntukkan kepada mereka yang membutuhkan buku-buku langka untuk disalin.
Kembali kepada ilmu yang benar
Kegiatan ilmu adalah aktifitas sangat tinggi nilainya di sisi Allah Subhanahu wata’ala. Melalui ilmulah manusia dapat mengenal Allah dan memahami cara beribadah kepada-Nya dengan benar.
Tradisi keilmuan ini perlu dibiasakan, mengingat tantangan terbesar muslim kontemporer menurut Prof. Al-Attas adalah rusaknya Ilmu. Rusaknya konsep ilmu akan berkonsekuensi pada kerusakan pemikiran dan metode memahami Islam. Apalagi, sebagaimana difatwakan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, kerusakan umat diakibatkan oleh kejahatan intelektual muslim (ulama’). ”Seburuk-buruk manusia adalah ulama yang buruk”, kata Rasulullah.
Oleh sebab itu, diskusi ilmu dan kajian ilmiah tak kalah mulyanya dengan ibadah shalat dan sedekah di bulan Ramadlan. Bahkan pada masa dimana kerusakan ilmu merajalela, kajian ilmiah barangkali lebih utama. Ditegaskan oleh Ibnu Abbas ”Mendiskusikan ilmu pada sebagian malam lebih saya sukai daripada menghidupkan malam itu.” Apalagi pada masa kini, kejahilan tidak sama dengan kejahilan yang pernah dialami oleh ulama’-ulama dahulu.
Kini, kejahilan bukan saja kekurangan ilmu, akan tetapi kekacauan ilmu (confusion of knowledge). Kekacauan ilmu ini akibat invasi konsep-konsep sekular yang menghegemoni studi-studi Islam.
Menurut al-Attas, invasi Barat ke dunia Islam menyebabkan kerugian tidak sekedar fisik, tapi juga pergeseran cara pandang, utamanya cara pandang keilmuan. Salah satu isu penting dalam keilmuan adalah sumber-sumber ilmu.
Jalur utama mendapat ilmu menurut Barat modern adalah panca indera dan nalar belaka. Karena sumber ilmu menurut Barat hanya terbatas pada panca indera dan akal saja, maka produk-produk keilmuan yang dianggap layak sebagai sarana hidup juga terbatas kepada yang bisa dicerna oleh panca indera dan dinalar oleh akal.
Dengan pola pikir seperti ini, ilmu-ilmu yang berbasis wahyu teriliminasi dan dianggap tidak layak menyelesaikan masalah kehidupan manusia. Ironisnya, pemikiran ini juga menjangkiti umat islam. Sebagai bukti, ketika melihat pendidikan misalnya, maka jurusan yang dipilih adalah jurusan yang menjanjikan pekerjaan. Hingga seakan-akan tujuan pendidikan bukan lagi mendidik, tapi dunia kerja.
Ini juga tidak saja terjadi pada jurusan-jurusan berbasis umum, jurusan agama juga mengalami hal yang sama, yaitu orientasi bukan ilmu, tapi orientasi materi. Inilah yang kata al-Attas telah terjadi pergeseran tentang posisi ilmu yaitu, mana yang utama dan yang sampingan. Al-Attas menyebutnya ilmu fardu ‘ain dan fardu kifayah. Umat tidak paham mana yang pertama dan mana yang kedua. Kalaupun paham, masih juga mengutamakan yang kedua dan meninggalkan yang pertama karena yang nampak di depan mereka materi yang akan diperoleh nantinya
Lalu bagaimana sebaiknya memahami sumber-sumber ilmu ini? Al-Attas merangkum dari beberapa arus pemikiran keilmuan para ulama, mulai dari para ulama mutkallimin, ulama tasawwuf, dari ulama falsafah, seperti al-Nasafi, Ibn Arabi, al-Ghazali, Ibn Sina dan lain-lain. Maka bagi al-Attas, manusia boleh mendapatkan ilmu itu melalui: informasi yang benar (khabar shadiq), intuition (hads dan ilham), intelek (’aqal), dan indera (hawas).
Bagi Islam, semua sumber ilmu tidak bertentangan satu sama lainnya dan saling berhubungan. Namun demikian, masing-masing sumber ilmu itu mempunyai otoritasnya dan posisi serta derajatnya. Yang tertinggi adalah informasi yang benar, yang dalam kategori ini adalah wahyu. Sedangkan yang terendah adalah indera. Diantara yang tertinggi dan terendah, disitulah letaknya akal dan intuisi.
Dengan kesepaduan sumber ilmu dalam Islam, ulama terdahulu telah menghasilkan berbagai macam keilmuan yang kaya raya, yang membuat decak kagum manusia seluruh dunia. Maka tak heran kalau orang mengatakan, ”Ex Oriente Lux” (Dari Timur Muncul Cahaya).
Sebaliknya, dengan terpengaruh oleh arus cara hidup dan cara pikir modern yang memporak porandakan sumber-sumber ilmu dalam Islam, umat Islam kini terbelakang dan oleh karenanya miskin produktifitas ilmu. Dengan demikian, salah satu jalan keluar terpenting bagi keterbelakangan umat ini adalah kembali lagi kepada sumber ilmu yang betul, lengkap dan mapan sesuai dengan yang dicontohkan oleh para pendahulu umat Islam.
(Kiriman dari : sahabatku Kholili Hasib)