Membangun Peradaban Dengan Prinsip Etika
Abu al-Hasan Ali al-Hasani an-Nadawi, ulama' asal India, menulis sebuah buku penting untuk kajian peradaban Islam. Madza Khasira al-'Alam bin Khithati al-Muslimin adalah karya beliau yang mengupas penyebab dan akibat tenggelamnya peradaban Islam. "Hancurnya kedaulatan negeri-negeri muslim dan tersisihnya peran umat Islam dari kancah kehidupan dunia menyebabkan dunia menjadi gelap" kata an-Nadawi. Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa rezim-rezim sebelum Islam yang pernah berkuasa telah memberatkan manusia dan membuat malapetaka dunia. Imperium Romawi, Persia dan bangsa Yunani misalnya, kekuasaannya penuh dengan materialisme, marginalisasi Tuhan, penindasan terhadap manusia dan kekejaman yang luar biasa.
Buku an-Nadawi ini akan menjadi klop jika dikawinkan dengan buku Tauhid karya Isma'il Raji al-Faruqi. Al-Faruqi, yang meninggal kerena ditembak oleh penembak gelap di Amerika, dalam bukunya mengurai etika-etika membangun peradaban dari sisi Tauhid. Konon, ia dibunuh gara-gara buku Tauhidnya yang banyak mempengaruhi orang.
Menurut al-Faruqi, tugas utama dan pertama Nabi Muhammad SAW adalah menyempurnakan akhlak manusia yang telah sekian tahun porak-poranda (HR. Ahmad). Sebab, salah satu makna Tawhid adalah memancarkan sinar pencerahan, menempatkan posisi manusia pada posisi yang proposional, 'adil dan bermartabat di sisi Tuhannya. Manusia yang bertawhid kata al-Faruqi, menyadari sepenuhnya hakikat penciptaan dan eksistensinya di dunia.
Mengapa adab dan etika Tauhid dulu yang dikedepankan? Menurut Prof. Syed M. Naquib al-Attas, bangunan peradaban itu tidak terkonstruk dengan baik kecuali oleh manusia-manusia yang beradab. Manusia beradab menyadari sepenuhnya tanggung jawab spiritual dan sosial. Memahami dan menunaikan keadilan terhadap Tuhan, dirinya dan masyarakat sekitarnya. Sehingga, inti sari peradaban Islam sebenarnya adalah Tauhid itu.
Jadi, jalan pertama yang ditempuh untuk membangun suatu peradaban yang baik adalah menciptakan manusia-manusia yang beradab. Ketiadaan adab itulah yang menyebabkan hancurnya peradaban manusia. Maka tesis an-Nadawi benar, bahwa ketika dunia di bawah cengkeraman penguasa-penguasa yang tak beradab, anti-Tauhid, di saat itu sifat hewani mendominasi dunia.
Adab atau etika dalam Islam harus dilandasi oleh Tauhid. Oleh karena itu ketika awal meletakkan dasar-dasar peradaban, Rasulullah SAW tidak menerapkan syari'ah, akan tetapi melakukan purifikasi keimanan masyarakat Jahiliyah Makkah terlebih dahulu. Dalam konsteks sekarang, yang mesti dilakukan adalah melakukan penyadaran bertauhid. Dalam buku Tauhid, al-Faruqi memaparkan makna Tauhid dari berbagai sisi.
Namun poin penting yang perlu diperdalam adalah makna etika Tauhidy. Paparan al-Faruqi dalam buku Tauhid bab VI yang berjudul Tauhid; Prinsip Etika cukup menarik untuk dikaji. Ia menegaskan hakikat eksistensi manusia sebagai makhluk yang diciptakan Allah, Khalifah di bumi dan sebagai makhluk individu. Manusia menemukan eksistensinya bukan ketika bersikap skeptis, sebagaimana pemikiran Rene Descartes cogito ergo sum (kamu berfikir atau meragukan maka kamu ada), bukan pula seperti pemikiran Karl Marx yang mengatakan manusia ada jika dia bekerja.
Etika dan Tauhid
Tidak ada alasan manusia untuk tidak bertauhid. Sebab, manusia diciptakan dengan kondisi untuk bisa menerimat tauhid. "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui" (QS. Ar-Rum:30). Fitrah dalam ayat tersebut yang dimaksud adalah beragama. Para pakar perbandingan agama menyebut fitrah manusia untuk beragama itu disebut sensus numinis (naluri keberagamaan). Dalam konsep Islam, sensus numinis ini memang sudah ditanamkan oleh Allah SWT kepada setiap individu, ketika manusia masih dalam bentuk ruh.
Jadi naluri keberagamaan manusia, dalam konsep Islam memang sudah given, bukan lahir begitu saja karena faktor psikologis atau sosial. Seperti pendapat Sigmun Freud yang menunjuk faktor psikologis manusia yang melahirkan naluri itu. Ketika manusia lemah, maka ia membutuhkan 'kekuatan lain' diluar kekuatan manusia. Pendapat ini tidak sepenuhnya salah, akan tetapi timbulnya kesadaran manusia untuk membutuhkan 'kekuatan' ketika ia kehilangan kekuatan (powerless) itu dari Yang Maha Kuasa bukan psikologis manusia sendiri. Sejak lahir manusia memang dibekali perangkat untuk beragama. Ayat tersebut dikenal dangan perjanjian primordial (primordial covenant) yaitu janji ruh manusia untuk mengesakan Allah (bertawhid) .
Tauhid dalam konteks ini, menurut al-Faruqi tidak sekedar penegasan verbalis bahwa Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad SAW adalah utusan-Nya. Lebih dari itu, makna tauhid salah satunya mengajarkan kepada manusia akan eksistensi manusia yang sebenarnya. Manusia menunjukkan eksistensi sebenarnya jika mampu menjalankan tugasnya sebagai khalifatullah fi al-ardli.
Menurut al-Faruqi, pelaksanaan tugas itu adalah tujuan akhir eksistensi manusia. Ini menunjukkan, Tauhid Islam sangat menghormati manusia secara adil. Menempatkan manusia secara proporsional dan benar. Tidak melebih-lebihkan sampai pada taraf menuhankan dan tidak pula merendahkan sampai pada taraf binatang.
Karakteristik etika ini menurut an-Nadawi yang membedakan dengan peradaban bangsa lainnya. Peradaban Yunani mengembangkan ajaran humanisme-sekuler yang menempatkan manusia sebagai pusat segalanya (antroposentris). Mereka mendewakan manusia secara berlebihan. Bahkan kejahatan manusia pun dianggap wajar dan alamiah.
Peradaban Yunani terkenal dengan corak materialisme. Ada tiga karakteristik peradaban Yunani yang paling menonjol; Pertama, Keyakinan yang mendalam pada hal-hal yang nyata (empirisme) dan kurangnya perhatian pada hal-hal metafisis, Kedua, Minimnya unsur-unsur religi dan unsur rasa takup pada Tuhan, Ketiga, Paham nasionalisme yang kental.
Agama Kristen pada masa awal pembentukannya melangkah secara ekstrim dengan merendahkan kemanusian. Manusia sejak awal lahir sudah membawa dosa asal dari Nabi Adam as. Untuk itu, tuhan beriknkarnasi menjadi wujud manusia (Yesus) dengan misi untuk menebus dosa manusia dengan cara penyaliban. Ajaran Tawhid dan kebersahajaan Nabi Isa as, dirombak dan diganti menjadi agama baru menjadi Kristen oleh Paulus.
Dari tangan Paulus dan diperkuat oleh Raja Konstantin (Romawi) Kristen semakin tidak rasional, substansi ajarannya dipenuhi dengan khurafat, paganisme Roma dan Platonisme Mesir. Ajaran Nabi Isa as. semakin dangkal dan tidak mampu membangkitkan kekuatan spiritual dalam jiwa, tidak mampu membangun akal budi serta lemah dalam menjawab problematika hidup umat manusia.
Kristen pun dipenuhi dengan kreasi manusia yang sarat dengan penyelewengan yang selanjutnya menjadi penghalang antara manusia dengan ilmu pengetahuan. Agama Hindu menggolongkan manusia ke dalam kasta-kasta, ironisnya sebagian besar manusia ditempatkan pada kasta yang paling bawah. Lebih dari itu wanita di India pada abad ke-6 kedudukannya disamakan dengan budah. Hal yang biasa seorang suami mempertaruhkan istrinya di meja judi.
Jadi, dalam Islam, etika tidak dapat dipisahkan dari agama. Semua aktifitas harus dikaitkan dengan norma agama, apapun aktifitas itu. Konsep Islam tidak mengenal dikotomi religius-sekuler, gereja-negara, sakral-profan dan historis-normatif. Untuk menjadi manusia yang baik maka harus bertauhid dalam makna yang komprehensif. Dalam arti harus menjadi manusia yang beradab, menurut terminologi al-Attas.
Al-Attas mendefinisikan, manusia beradab adalah, orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Haq; yang memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya; yang terus berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia beradab.
Menurut al-Attas, adab menempati tiga posisi dalam kehiduapan manusia. Adab terhadai diri, terhadap manusia dan kepada ilmu pengetahuan. Adab terhadap sendiri bermula ketika seseorang mengakui bahwa dirinya terdiri dari dua unsur yaitu akal dan sifat-sifat hewani. Ketika seorang manusia mampu menguasai dan mengontrol sifat hewaninya maka ia telah menempatkan dirinya pada tempat yang semestinya, pada posisi yang benar.
Dalam konteks hubungan sosial, adab dapat diwujudkan dengan tulus dan rendah hati, kasih sayang, hormat, peduli dan lain-lain kepada orangtua, saudara, anak-anak, tetangga dan pimpinan maka hal itu menunjukkan seseorang mengetahui tempat yang sebenarnya dalam hubungannya dengan mereka.
Sedangkan dalam konteks ilmu pengetahuan adab berarti disiplin intelektual yang mengenal dan mengakui adanya hierarki ilmu berdasrakan kriteria tingkat-tingkat keluhuran dan kemuliaan yang memungkinkannya mengenal dan mengakui, bahwa seseorang yang pengetahuannnya berdasarkan wahyu itu jauh lebih luhur dan mulia daripada mereka yang pengetahuannya berdasrakan akal.
Adab terhadap ilmu pengetahuan akan menghasilkan cara yang tepat dan benar dalam belajar dan penerapan pelbagai bidang sains yang berbeda. Seirama dengan ini, rasa hormat terhadap dengan ilmuan dengan sendirinya merupakan salah satu pengejawantahan langsung dari adab terhadap ilmu pengetahuan. Maka, tujuan akhir dari mempelajari ilmu pengetahuan adalah mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Inilah yang benar-benar manusia beradab, yaitu manusia yang memaknai Tauhid sebagai dasar peradaban. Adab luntur, maka perdaban pun hancur.
Oleh Kholili Hasib
(dari sahabatku, akhi Kholili)
Buku an-Nadawi ini akan menjadi klop jika dikawinkan dengan buku Tauhid karya Isma'il Raji al-Faruqi. Al-Faruqi, yang meninggal kerena ditembak oleh penembak gelap di Amerika, dalam bukunya mengurai etika-etika membangun peradaban dari sisi Tauhid. Konon, ia dibunuh gara-gara buku Tauhidnya yang banyak mempengaruhi orang.
Menurut al-Faruqi, tugas utama dan pertama Nabi Muhammad SAW adalah menyempurnakan akhlak manusia yang telah sekian tahun porak-poranda (HR. Ahmad). Sebab, salah satu makna Tawhid adalah memancarkan sinar pencerahan, menempatkan posisi manusia pada posisi yang proposional, 'adil dan bermartabat di sisi Tuhannya. Manusia yang bertawhid kata al-Faruqi, menyadari sepenuhnya hakikat penciptaan dan eksistensinya di dunia.
Mengapa adab dan etika Tauhid dulu yang dikedepankan? Menurut Prof. Syed M. Naquib al-Attas, bangunan peradaban itu tidak terkonstruk dengan baik kecuali oleh manusia-manusia yang beradab. Manusia beradab menyadari sepenuhnya tanggung jawab spiritual dan sosial. Memahami dan menunaikan keadilan terhadap Tuhan, dirinya dan masyarakat sekitarnya. Sehingga, inti sari peradaban Islam sebenarnya adalah Tauhid itu.
Jadi, jalan pertama yang ditempuh untuk membangun suatu peradaban yang baik adalah menciptakan manusia-manusia yang beradab. Ketiadaan adab itulah yang menyebabkan hancurnya peradaban manusia. Maka tesis an-Nadawi benar, bahwa ketika dunia di bawah cengkeraman penguasa-penguasa yang tak beradab, anti-Tauhid, di saat itu sifat hewani mendominasi dunia.
Adab atau etika dalam Islam harus dilandasi oleh Tauhid. Oleh karena itu ketika awal meletakkan dasar-dasar peradaban, Rasulullah SAW tidak menerapkan syari'ah, akan tetapi melakukan purifikasi keimanan masyarakat Jahiliyah Makkah terlebih dahulu. Dalam konsteks sekarang, yang mesti dilakukan adalah melakukan penyadaran bertauhid. Dalam buku Tauhid, al-Faruqi memaparkan makna Tauhid dari berbagai sisi.
Namun poin penting yang perlu diperdalam adalah makna etika Tauhidy. Paparan al-Faruqi dalam buku Tauhid bab VI yang berjudul Tauhid; Prinsip Etika cukup menarik untuk dikaji. Ia menegaskan hakikat eksistensi manusia sebagai makhluk yang diciptakan Allah, Khalifah di bumi dan sebagai makhluk individu. Manusia menemukan eksistensinya bukan ketika bersikap skeptis, sebagaimana pemikiran Rene Descartes cogito ergo sum (kamu berfikir atau meragukan maka kamu ada), bukan pula seperti pemikiran Karl Marx yang mengatakan manusia ada jika dia bekerja.
Etika dan Tauhid
Tidak ada alasan manusia untuk tidak bertauhid. Sebab, manusia diciptakan dengan kondisi untuk bisa menerimat tauhid. "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui" (QS. Ar-Rum:30). Fitrah dalam ayat tersebut yang dimaksud adalah beragama. Para pakar perbandingan agama menyebut fitrah manusia untuk beragama itu disebut sensus numinis (naluri keberagamaan). Dalam konsep Islam, sensus numinis ini memang sudah ditanamkan oleh Allah SWT kepada setiap individu, ketika manusia masih dalam bentuk ruh.
Jadi naluri keberagamaan manusia, dalam konsep Islam memang sudah given, bukan lahir begitu saja karena faktor psikologis atau sosial. Seperti pendapat Sigmun Freud yang menunjuk faktor psikologis manusia yang melahirkan naluri itu. Ketika manusia lemah, maka ia membutuhkan 'kekuatan lain' diluar kekuatan manusia. Pendapat ini tidak sepenuhnya salah, akan tetapi timbulnya kesadaran manusia untuk membutuhkan 'kekuatan' ketika ia kehilangan kekuatan (powerless) itu dari Yang Maha Kuasa bukan psikologis manusia sendiri. Sejak lahir manusia memang dibekali perangkat untuk beragama. Ayat tersebut dikenal dangan perjanjian primordial (primordial covenant) yaitu janji ruh manusia untuk mengesakan Allah (bertawhid) .
Tauhid dalam konteks ini, menurut al-Faruqi tidak sekedar penegasan verbalis bahwa Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad SAW adalah utusan-Nya. Lebih dari itu, makna tauhid salah satunya mengajarkan kepada manusia akan eksistensi manusia yang sebenarnya. Manusia menunjukkan eksistensi sebenarnya jika mampu menjalankan tugasnya sebagai khalifatullah fi al-ardli.
Menurut al-Faruqi, pelaksanaan tugas itu adalah tujuan akhir eksistensi manusia. Ini menunjukkan, Tauhid Islam sangat menghormati manusia secara adil. Menempatkan manusia secara proporsional dan benar. Tidak melebih-lebihkan sampai pada taraf menuhankan dan tidak pula merendahkan sampai pada taraf binatang.
Karakteristik etika ini menurut an-Nadawi yang membedakan dengan peradaban bangsa lainnya. Peradaban Yunani mengembangkan ajaran humanisme-sekuler yang menempatkan manusia sebagai pusat segalanya (antroposentris). Mereka mendewakan manusia secara berlebihan. Bahkan kejahatan manusia pun dianggap wajar dan alamiah.
Peradaban Yunani terkenal dengan corak materialisme. Ada tiga karakteristik peradaban Yunani yang paling menonjol; Pertama, Keyakinan yang mendalam pada hal-hal yang nyata (empirisme) dan kurangnya perhatian pada hal-hal metafisis, Kedua, Minimnya unsur-unsur religi dan unsur rasa takup pada Tuhan, Ketiga, Paham nasionalisme yang kental.
Agama Kristen pada masa awal pembentukannya melangkah secara ekstrim dengan merendahkan kemanusian. Manusia sejak awal lahir sudah membawa dosa asal dari Nabi Adam as. Untuk itu, tuhan beriknkarnasi menjadi wujud manusia (Yesus) dengan misi untuk menebus dosa manusia dengan cara penyaliban. Ajaran Tawhid dan kebersahajaan Nabi Isa as, dirombak dan diganti menjadi agama baru menjadi Kristen oleh Paulus.
Dari tangan Paulus dan diperkuat oleh Raja Konstantin (Romawi) Kristen semakin tidak rasional, substansi ajarannya dipenuhi dengan khurafat, paganisme Roma dan Platonisme Mesir. Ajaran Nabi Isa as. semakin dangkal dan tidak mampu membangkitkan kekuatan spiritual dalam jiwa, tidak mampu membangun akal budi serta lemah dalam menjawab problematika hidup umat manusia.
Kristen pun dipenuhi dengan kreasi manusia yang sarat dengan penyelewengan yang selanjutnya menjadi penghalang antara manusia dengan ilmu pengetahuan. Agama Hindu menggolongkan manusia ke dalam kasta-kasta, ironisnya sebagian besar manusia ditempatkan pada kasta yang paling bawah. Lebih dari itu wanita di India pada abad ke-6 kedudukannya disamakan dengan budah. Hal yang biasa seorang suami mempertaruhkan istrinya di meja judi.
Jadi, dalam Islam, etika tidak dapat dipisahkan dari agama. Semua aktifitas harus dikaitkan dengan norma agama, apapun aktifitas itu. Konsep Islam tidak mengenal dikotomi religius-sekuler, gereja-negara, sakral-profan dan historis-normatif. Untuk menjadi manusia yang baik maka harus bertauhid dalam makna yang komprehensif. Dalam arti harus menjadi manusia yang beradab, menurut terminologi al-Attas.
Al-Attas mendefinisikan, manusia beradab adalah, orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Haq; yang memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya; yang terus berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia beradab.
Menurut al-Attas, adab menempati tiga posisi dalam kehiduapan manusia. Adab terhadai diri, terhadap manusia dan kepada ilmu pengetahuan. Adab terhadap sendiri bermula ketika seseorang mengakui bahwa dirinya terdiri dari dua unsur yaitu akal dan sifat-sifat hewani. Ketika seorang manusia mampu menguasai dan mengontrol sifat hewaninya maka ia telah menempatkan dirinya pada tempat yang semestinya, pada posisi yang benar.
Dalam konteks hubungan sosial, adab dapat diwujudkan dengan tulus dan rendah hati, kasih sayang, hormat, peduli dan lain-lain kepada orangtua, saudara, anak-anak, tetangga dan pimpinan maka hal itu menunjukkan seseorang mengetahui tempat yang sebenarnya dalam hubungannya dengan mereka.
Sedangkan dalam konteks ilmu pengetahuan adab berarti disiplin intelektual yang mengenal dan mengakui adanya hierarki ilmu berdasrakan kriteria tingkat-tingkat keluhuran dan kemuliaan yang memungkinkannya mengenal dan mengakui, bahwa seseorang yang pengetahuannnya berdasarkan wahyu itu jauh lebih luhur dan mulia daripada mereka yang pengetahuannya berdasrakan akal.
Adab terhadap ilmu pengetahuan akan menghasilkan cara yang tepat dan benar dalam belajar dan penerapan pelbagai bidang sains yang berbeda. Seirama dengan ini, rasa hormat terhadap dengan ilmuan dengan sendirinya merupakan salah satu pengejawantahan langsung dari adab terhadap ilmu pengetahuan. Maka, tujuan akhir dari mempelajari ilmu pengetahuan adalah mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Inilah yang benar-benar manusia beradab, yaitu manusia yang memaknai Tauhid sebagai dasar peradaban. Adab luntur, maka perdaban pun hancur.
Oleh Kholili Hasib
(dari sahabatku, akhi Kholili)