Ahlul Bait dan Sahabat Nabi
Beberapa diantara kita masih bingung siapakah syiah itu dan ahlu bait itu? Lalu apa bedanya dengan Ahlussunnah wal Jama’ah? Yuk kita simak bersama tulisan dari sahabat saya, Ustadz Kholili Hasib. Semoga semakin paham ilmu kita.
Antara Ahlul Bait dan Sahabat Nabi saw dalam pandanga Syiah selalu diposisikan berhadap-hadapan. Isu sengketa politik antara Ahlul Bait dan sahabat pada awal pemilihan Khalifah yang merupakan berita palsu dibesar-besarkan untuk menjatuhkan kredibilitas sahabat. Fakat bahwa Ali bin Abi Thalib tidak pernah protes terhadap Khalifah Abu Bakar dan Umar, begitu saja diabaikan. Adalah Abdullah bin Saba’ yang ditengarai membuat gerakan politik mengadu domba antara keluarga Ali dan Sahabat. Justru Ali memuji Abu Bakar sebagai pembesar sahabat, “Orang yang paling baik dari umat ini setelah Nabi adalah Abu Bakar dan Umar” (HR. Bukhari).
Bagi Syiah, Ahlul Bait dijadikan icon utama. Dalam hadis, Syiah hanya menerima jalur periwayatan yang hanya ditransmisikan oleh Ahlul Bait. Di luar Ahlul Bait jalurnya ‘ditutup’. Tapi bisa diterima jika isi hadisnya mendukung keutamaan Ahlul Bait. Akibatnya, Syiah menolak mayoritas hadis yang beredar di kalangan kaum Muslimin (Ahlus Sunnah wal Jama’ah).
Berbeda dengan Ahlus Sunnah, semua hadis diterima baik diriwayatkan oleh Ahlul Bait atau bukan asalkan memenuhi syarat-syarat keabsahan hadis dan perawinya. Ahlus Sunnah juga mencitai Ahlul Biat. Mereka mencintai Ahlul Bait berdasarkan tuntunan al-Qur’an dan al-Sunnah, bukan atas dasar fanatisme. Ahlul Bait merupakan orang-orang baik memiliki keutamaan, tapi mereka manusia biasa, tidak ma’shum.
Ada seorang penganut Syiah pernah berdiskusi dengan saya. Ia mengklaim bahwa Syiah lebih tsiqah praktik keagamaannya kerena mengikuti jalur Ahlul Bait Nabi saw. Sedangkan, Sunni yang menerima ajaran agama melalui jalur sahabat patut dipertanyakan keabsahannya. Logika Syiah mengatakan, jalur Ahlul Bait lebih dipercaya karena mereka ma’sum daripada jalur sahabat yang mengkhianati Ali bin Abi Thalib.
Dalam pandangan Ahlussunnah, baik Ahlul Bait maupun sahabat diterima riwayatnya, selama itu sanad dan matannya sesuai kaidah metodologi ilmu hadis. Dan kedua-duanya memiliki keutamaan khusus. Ahlussunnah mencintai dan menghormati Ahlul Bait dan sahabat secara proporsional sesuai petunjuk al-Qur’an dan hadis.
Dalam al-Mustadrak jilid III terdapat riwayat peringatan bagi orang yang memusuhi keluarga besar Rasulullah saw, “Demi Allah yang menguasai nyawaku, tidaklah seseorang membenci kami, Ahlul Bait melainkan Allah memasukkannya ke dalam neraka” (HR. al-Hakim).
Wasiat Rasulullah saw untuk berhati-hati mencela Ahlul Bait juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Kalian kuingatkan kepada Allah swt mengenai Ahlul Baitku” (HR. Muslim, Ahmad, al-Hakim).
Istri-istri Rasulullah, keluarga Ali bin Abi Thalib, dan Ja’far bin Abi Thalib juga mendapatkan ampunan dari Allah. Sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya Allah hendak menghapuskan segala noda dan kotoran dari kalian Ahlul Bait dan hendak mensucikan kalian dengan sebenar penyucian” (QS. Al-Ahzab: 33).
Ayat ini terkenal dengan “ayat tathhir”. Ahlul Bait yang termasuk di dalam ayat tersebut adalah istri-istri Rasulullah. Tidak hanya Ali, Fathimah, Hasan dan Husein saja, sebagaimana diyakini Syiah. Hal itu terbukti dengan ayat sebelumnya yang bercerita tentang nasihat Rasulullah kepada istri-istrinya. Hal itu dikuatkan dengan laporan Zaid bin Arqam yang menceritakan sahabat Khusoin bertanya langsung tentang siapa yang dimaksud Ahlul Bait.
Rasulullah saw bersabda, “Kuingatkan kalian kepada Allah mengenai Ahlul Biatku’. Kemudian Khusoin bertanya: “Siapa saja Ahlul Baitnya hai Zaid? Apakah istri-istrinya termasuk juga Ahlul Bait? Maka dijawab, Istri-istrinya juga termasuk Ahlul Bait. Ahlul Bait adalah mereka yang diharamkan menerima shodaqoh. Lalu Khusoin bertanya lagi: Siapa saja mereka? Lalu dijawab: Mereka itu keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far dan keluarga Abbas. Penanya bertanya lagi: Semua itu diharamkan menerima shodaqah? Dijawab: iya” (HR. Muslim, Ahmad, Ibn Hibban).
Ibnu ‘Aasyuur mengatakan “Ahlul-Bait adalah para istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan pembicaraan tersebut diarahkan kepada mereka. Demikian pula apa yang sebelum dan setelahnya, tidak ada keraguan menyelubungi seorang pun. Kalangan Syi’ah telah menelan hadits kisaa’ (kain), lalu merampas kriteria ahlul-bait dengan membatasinya pada Faathimah, suami (‘Aliy bin Abi Thaalib), dan kedua puteranya (Al-Hasan dan Al-Husain) ridlwanullahu ‘alihim, lalu mereka mengklaim bahwa para istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bukanlah termasuk ahlul-bait” (At-Tahriir wat-Tanwiir, 21/247-248)
Ayat tersebut tidak menjelaskan bahwa Ahlul Bait atau para imam itu ma’shum. Ayat itu menjelasakan tentang keutamaan khusus yang diberikan kepada istri-istri Nabi dan keluarga Ali. Bahwa mereka mendapatkan ampunan dari Allah swt.
Ahlussunnah menerima riwayat Ahlul Bait berdasarkan metodologis, bukan doktrin mitologis. Selama sesuai dengan kaidah metodologi hadis, maka ia bisa diterima. Tidak menerima mentah-mentah. Karena hanya nabi yang ma’shum, sedangkan Ahlul bait manusia biasa. Ahlussunnah mencintai ahlul-bait dengan ukuran-ukuran syari’at, bukan dengan ‘selera’ dan hawa nafsu. Tidak bersikap berlebih-lebihan, juga tidak meremehkan.
Jalur ilmu agama, dalam pandangan Ahlussunnah tidak membedakan Ahlul Bait dan sahabat. Sahabat yang juga mendapatkan keutamaan, diakui riwayatnya selama sanadnya sesuai memenui kaidah metodologis.
Dalam hadis yang terkenal dengan hadis iftiraq, Rasulullah memberi parameter bahwa kelompok yang selamat adalah kelompok yang mengikuti sunnah beliau dan ajaran para sahabat.
Rasulullah saw bersabda: “Umatku akan mengalami (perpecahan) seperti umat Bani Israil. Yahudi akan terpecah menjadi 72 kelompok, dan umatku akan terpecah menjadi 73 kelompok, semuanya masuk neraka kecuali satu. Para sahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah siapa kelompok yang selamat itu? Nabi menjawab: yaitu yang mengikutiku dan sahabatku” (HR.Abu Hurairah).
Abdul Qohir al-Baghdadi mengatakan hadis ini shahih mutawatir. Diriwayatkan oleh banyak sahabat di antaranya Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abu Darda’, Jabir, Abu Sa’id al-Khudri, Ubay bin Ka’ab dan Abdullah bin Umar (lihat al-farqu bainal Firaq, hal. 7). Kelompok inilah yang masyhur disebut al-firqah al-najiyah (kelompok yang selamat) yang kemudian terkenal dengan Ahlussunnah wal Jama’ah.
Karena itu mencintai dan mengikuti petunjuk sahabat termasuk ajaran akidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Allah memuliakan mereka dengan hidup bersamanya, dan berjuang bersama-sama menegakkan agama Allah. Allah swt berfirman:
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung” (QS. Al-Hasyr: 9).
Ibn Hajar mengatakan tentang kelurusan para sahabat, “semua sahabat adalah lurus, adil, dan yang berbeda pendapat hanyalah segelintir Ahlul Bid’ah” (Ibn Hajar,Al-Ishobah, jilid I hal. 17). Tidak ada sengketa atau kebencian Ahlul Bait kepada sahabat. Hal itu terbukti ternyata Ali pernah berwasiat untuk mengutamakan dan mencitai para sahabat. Dalam kitab Nahjul Balaghah ia mengatakan, “Aku melihat sahabat-sahabat Muhammad saw dan aku tidak melihat seorangpun yang menyerupai mereka. Mereka tersbar laksana debu, bersujud dan shalat dengan kepala dan pipi mereka” (Ali bin Abi Thalib, Nahul Balaghah, hal.182-189). Dengan demikian mendikotomi jalur ilmu antara kelompok Ahlul bait dengan sahabat atau mengadu domba antar keduanya berarti menentang Rasulullah dan Imam Ahlul Bait sendiri yaitu Ali bin Abi Thalib.
Oleh: Kholili Hasib
http://