Jajanan Sembarangan Buat Anak Meninggal Dunia
Hari ini saya mendapatkan berita dari teman sesama penulis yaitu Mas Iwok Abqary. Kalau ponakannya sudah meninggal akibat memakan jajanan anak-anak. Benar-benar miris. Namun, ini menjadi peringatan bagi kita untuk selalu mengawasi anak-anak kita dengan memberikan bekal makanan sehat dan tidak memberinya jajan lebih. Karena bagaimanapun saat ini banyak pihak penjual makanan yang berbuat curang. Dengan alasan ekonomi agar mendapatkan keuntungan lebih besar, mereka menggunakan pewarna non sintestis agar makanan dapat dilirik anak-anak yang berwarna-warni jika kita lihat dari segi tampilan, kadang juga mereka gunakan minya goreng yang dicampur dengan plastik, atau minyak goreng yang sudah tidak layak pakai lagi karena sudah berulang kali dipakai, maupun sampai isi kandungan makanan yang dicampur pengawet, boraks sampai penyedap rasa yang tidak sehat.
Belum lagi tempat media yang kurang bersih,dan lingkungan tempat berjualan penuh debu atau virus dan bakteri. Jadi kita harus berhati-hati.
Mari kita simak tulisan dari Mas Iwok berikut ini yang penuh inspirasi tentang bahayanya jajanan sembarangan pada generasi muda (anak-anak).
*************
Belum lagi tempat media yang kurang bersih,dan lingkungan tempat berjualan penuh debu atau virus dan bakteri. Jadi kita harus berhati-hati.
Mari kita simak tulisan dari Mas Iwok berikut ini yang penuh inspirasi tentang bahayanya jajanan sembarangan pada generasi muda (anak-anak).
*************
Mari Kita Peduli Pada Jajanan Anak
9 September 2013 at 16:02
Jumat,
6 September 2013, keponakan saya M. Fachry Dwi Putra (5 tahun
–sebelumnya saya sebutkan 4 tahun), meninggal dunia setelah koma selama 7
hari dengan gejala awal keracunan makanan (jajanan pinggir jalan).
“Benarkah keracunan jajanan bisa mengakibatkan koma? Jajan apa dia sebenarnya?”
Pertanyaan itu datang bertubi-tubi ke inbox saya. Sayangnya saya belum bisa menjawab pertanyaan itu satu per satu. Suasana berduka membuat saya melepaskan gadget untuk sementara. Terlebih, pertanyaan tersebut tidak bisa dijawab singkat. Ada sebuah kisah yang cukup panjang yang harus dijelaskan sehingga informasinya tidak hanya sepotong. Saya berjanji untuk menjelaskannya nanti saat sudah luang. Sekarang.
Tanpa bermaksud mengorek luka bagi orangtua Fachry dan juga perasaan keluarga, saya hanya ingin berbagi tentang pentingnya menjaga anak-anak dari kebiasaan jajan sembarangan. Anak-anak tetaplah anak-anak, belum bisa memilah mana yang sehat dan mana yang tidak, mana yang bergizi dan mana yang hanya gurih belaka. Anak-anak hanya mengenal kata ‘enak’ dan’tidak enak’, meski pengertian ‘enak’ bagi mereka belum tentu juga ‘enak’ bagi orang dewasa. Butuh bimbingan dan pengawasan orangtua agar anak-anak tidak lantas terlena dengan apa yang mereka suka. Dengan berbagi kisah ini, saya hanya berharap kita bisa bersama-sama melindungi putra-putri kita dari segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi.
Jajan apa sebenarnya?
Senin (26/8) siang, Fachry membeli jajanan ‘Cilung’ (Aci dialung (tepung kanji dilempar) –sekaligus ralat karena sebelumnya saya menyebutkan jajanan telur kocok goreng) di sebuah pedagang keliling. Cilung adalah sebuah jajanan yang terbuat dari adonan tepung kanji yang digoreng dalam minyak panas, lalu digulung-gulung pada sebatang lidi. Saya sendiri belum tahu bentuk, rasa, dan pengolahan jajanan ini karena belum pernah melihatnya secara langsung. Penjelasan ini berdasarkan penuturan orangtuanya. Hanya saja, beberapa teman mengiyakan dan menyatakan tahu jenis jajanan ini. Seperti jenis penganan menggunakan tepung kanji lainnya, jajanan ini terasa kenyal dan susah dicerna.
Sekitar satu jam setelah menyantap jajanan ini, Fachry langsung muntah-muntah hebat dan diare, sehingga dilarikan ke rumah sakit. Saya tidak tahu ada kandungan apa dalam makanan tersebut sehingga Fachry langsung menderita keracunan seperti itu. Apakah jajanan ini mengandung bahan pengawet? Bumbu-bumbu yang tidak higienis? Minyak goreng bekas yang sudah melewati beberapa kali penggorengan? Atau bakteri dan kuman yang beterbangan bersama debu jalanan lalu menempel pada makanan dan masuk ke dalam perutnya? Semua kemungkinan ini bisa saja terjadi.
Dua hari dirawat sebenarnya kondisi sudah agak membaik. Fachry sudah tidak muntah lagi, hanya saja buang airnya masih lembek sehingga permintaan untuk rawat jalan ditolak oleh dokter. Selasa malam (27/8) pukul 22.00 muncul demam dan timbul kejang setelah diberikan obat penurun panas. Kami memang menyayangkan penanganan rumah sakit yang kurang sigap dalam menangani keponakan saya saat mengalami kejang-kejang hebat, sehingga saat dini hari (Rabu, 28/8) Fachry sudah ‘kelelahan’ dan tidak sadarkan diri sejak saat itu.
Rabu pagi, Fachry dirujuk ke RS. Borromeus dan langsung masuk ruang NICU. Bertemankan berbagai macam selang, alat pacu jantung, dan lain-lain, Fachry hanya sanggup bertahan sampai hari Jumat, 6 September 2013, tanpa sekali pun sempat sadarkan diri. Banyak doa dan tangis yang mengiringi hari-hari Fachry di ruang NICU, tapi takdir mengatakan lain. Allah Swt. sudah menjemputnya kembali untuk menempatkannya di surga yang kekal.
“Berarti koma tersebut akibat kurangnya penanganan kejangnya dong, dan bukan karena keracunan makanan?”
Terlepas dari semua itu, bukankah semuanya bermula dari jajanan yang tidak sehat? Seandainya, Fachry tidak mengonsumsi jajanan tersebut, dia tidak akan keracunan, tidak perlu dirawat di rumah sakit, bahkan mungkin tidak akan menderita demam yang mengantarkannya pada kejang sampai menimbulkan koma. Bukankah semuanya berkaitan? Kalau kita bisa mencegah, kenapa harus menunggu kejadian terlebih dahulu?
Orangtua dan keluarga sudah ikhlas dengan kepergian Fachry. Bocah 5 tahun ini memang selalu terbayang dengan kelucuan, keisengan, dan terkadang kejahilannya. Tetapi surga adalah tempat terbaik baginya, tempat dia akan menunggu kedua orangtuanya kelak datang menyusulnya.
Jajanan tidak sehat masih bertebaran di sekeliling kita, dan selalu mengintai anak-anak setiap saat. Pernahkah kita melihat penganan atau minuman berwarna-warni mencolok tetapi dijual dengan harga yang sangat murah tanpa kita tahu zat pewarna apa yang ada di dalamnya? Seringkah kita melihat jajanan tanpa kemasan yang dijual di gerobak terbuka depan sekolah yang debu bisa berlalu-lalang serta menempel dengan mudah (apalagi musim kemarau seperti ini)? Pernahkah kita tahu debu-debu itu bercampur dengan jutaan bakteri atau kuman penyakit? Seringkah kita melihat anak-anak dengan sangat antusias memburu makanan dan minuman tersebut?
Jangan biarkan anak-anak memilih jajanannya sendiri yang bisa jadi akan kita sesali kemudian. Jajan sembarangan seringkali dianggap sepele, tetapi dampak yang akan timbul bisa jadi tidak sesepele itu. Mari kita peduli jajanan sehat bagi anak. Orangtua dan orang dewasa sudah semestinya mengawasi apa yang anak-anak beli dan makan. Sudah waktunya kita kembali mengingatkan bahayanya apabila jajan sembarangan. Melarang dan bersikap tegas bukanlah sebuah kekerasan bagi anak, tetapi bentuk sebuah kecintaan dan rasa sayang. Kita tidak ingin semuanya menjadi terlambat, bukan?
“Ayo, Ibu-Ibu, lebih rajin lagi masak untuk anak-anak. Ayah-Ayah, jangan biasakan memberi uang jajan pada anak-anak. Sahabat yang menjual makanan, mari bertanggung jawab pada lingkungan kita.” ~ copas dari statusnya Aminah Mustari
Mari kita sebarkan #kampanyejajanansehat bagi orang-orang tercinta di sekeliling kita. Sayangi putra-putri kita dengan tidak membiarkannya jajan sembarangan.
************
Semoga catatan ini menjadi pengingat bagi kita tentang arti pentingnya kesehatan pada tubuh kita.
Salam santun,
~Evi A.~
Medan, 10 Septermber 2013
“Benarkah keracunan jajanan bisa mengakibatkan koma? Jajan apa dia sebenarnya?”
Pertanyaan itu datang bertubi-tubi ke inbox saya. Sayangnya saya belum bisa menjawab pertanyaan itu satu per satu. Suasana berduka membuat saya melepaskan gadget untuk sementara. Terlebih, pertanyaan tersebut tidak bisa dijawab singkat. Ada sebuah kisah yang cukup panjang yang harus dijelaskan sehingga informasinya tidak hanya sepotong. Saya berjanji untuk menjelaskannya nanti saat sudah luang. Sekarang.
Tanpa bermaksud mengorek luka bagi orangtua Fachry dan juga perasaan keluarga, saya hanya ingin berbagi tentang pentingnya menjaga anak-anak dari kebiasaan jajan sembarangan. Anak-anak tetaplah anak-anak, belum bisa memilah mana yang sehat dan mana yang tidak, mana yang bergizi dan mana yang hanya gurih belaka. Anak-anak hanya mengenal kata ‘enak’ dan’tidak enak’, meski pengertian ‘enak’ bagi mereka belum tentu juga ‘enak’ bagi orang dewasa. Butuh bimbingan dan pengawasan orangtua agar anak-anak tidak lantas terlena dengan apa yang mereka suka. Dengan berbagi kisah ini, saya hanya berharap kita bisa bersama-sama melindungi putra-putri kita dari segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi.
Jajan apa sebenarnya?
Senin (26/8) siang, Fachry membeli jajanan ‘Cilung’ (Aci dialung (tepung kanji dilempar) –sekaligus ralat karena sebelumnya saya menyebutkan jajanan telur kocok goreng) di sebuah pedagang keliling. Cilung adalah sebuah jajanan yang terbuat dari adonan tepung kanji yang digoreng dalam minyak panas, lalu digulung-gulung pada sebatang lidi. Saya sendiri belum tahu bentuk, rasa, dan pengolahan jajanan ini karena belum pernah melihatnya secara langsung. Penjelasan ini berdasarkan penuturan orangtuanya. Hanya saja, beberapa teman mengiyakan dan menyatakan tahu jenis jajanan ini. Seperti jenis penganan menggunakan tepung kanji lainnya, jajanan ini terasa kenyal dan susah dicerna.
Sekitar satu jam setelah menyantap jajanan ini, Fachry langsung muntah-muntah hebat dan diare, sehingga dilarikan ke rumah sakit. Saya tidak tahu ada kandungan apa dalam makanan tersebut sehingga Fachry langsung menderita keracunan seperti itu. Apakah jajanan ini mengandung bahan pengawet? Bumbu-bumbu yang tidak higienis? Minyak goreng bekas yang sudah melewati beberapa kali penggorengan? Atau bakteri dan kuman yang beterbangan bersama debu jalanan lalu menempel pada makanan dan masuk ke dalam perutnya? Semua kemungkinan ini bisa saja terjadi.
Dua hari dirawat sebenarnya kondisi sudah agak membaik. Fachry sudah tidak muntah lagi, hanya saja buang airnya masih lembek sehingga permintaan untuk rawat jalan ditolak oleh dokter. Selasa malam (27/8) pukul 22.00 muncul demam dan timbul kejang setelah diberikan obat penurun panas. Kami memang menyayangkan penanganan rumah sakit yang kurang sigap dalam menangani keponakan saya saat mengalami kejang-kejang hebat, sehingga saat dini hari (Rabu, 28/8) Fachry sudah ‘kelelahan’ dan tidak sadarkan diri sejak saat itu.
Rabu pagi, Fachry dirujuk ke RS. Borromeus dan langsung masuk ruang NICU. Bertemankan berbagai macam selang, alat pacu jantung, dan lain-lain, Fachry hanya sanggup bertahan sampai hari Jumat, 6 September 2013, tanpa sekali pun sempat sadarkan diri. Banyak doa dan tangis yang mengiringi hari-hari Fachry di ruang NICU, tapi takdir mengatakan lain. Allah Swt. sudah menjemputnya kembali untuk menempatkannya di surga yang kekal.
“Berarti koma tersebut akibat kurangnya penanganan kejangnya dong, dan bukan karena keracunan makanan?”
Terlepas dari semua itu, bukankah semuanya bermula dari jajanan yang tidak sehat? Seandainya, Fachry tidak mengonsumsi jajanan tersebut, dia tidak akan keracunan, tidak perlu dirawat di rumah sakit, bahkan mungkin tidak akan menderita demam yang mengantarkannya pada kejang sampai menimbulkan koma. Bukankah semuanya berkaitan? Kalau kita bisa mencegah, kenapa harus menunggu kejadian terlebih dahulu?
Orangtua dan keluarga sudah ikhlas dengan kepergian Fachry. Bocah 5 tahun ini memang selalu terbayang dengan kelucuan, keisengan, dan terkadang kejahilannya. Tetapi surga adalah tempat terbaik baginya, tempat dia akan menunggu kedua orangtuanya kelak datang menyusulnya.
Jajanan tidak sehat masih bertebaran di sekeliling kita, dan selalu mengintai anak-anak setiap saat. Pernahkah kita melihat penganan atau minuman berwarna-warni mencolok tetapi dijual dengan harga yang sangat murah tanpa kita tahu zat pewarna apa yang ada di dalamnya? Seringkah kita melihat jajanan tanpa kemasan yang dijual di gerobak terbuka depan sekolah yang debu bisa berlalu-lalang serta menempel dengan mudah (apalagi musim kemarau seperti ini)? Pernahkah kita tahu debu-debu itu bercampur dengan jutaan bakteri atau kuman penyakit? Seringkah kita melihat anak-anak dengan sangat antusias memburu makanan dan minuman tersebut?
Jangan biarkan anak-anak memilih jajanannya sendiri yang bisa jadi akan kita sesali kemudian. Jajan sembarangan seringkali dianggap sepele, tetapi dampak yang akan timbul bisa jadi tidak sesepele itu. Mari kita peduli jajanan sehat bagi anak. Orangtua dan orang dewasa sudah semestinya mengawasi apa yang anak-anak beli dan makan. Sudah waktunya kita kembali mengingatkan bahayanya apabila jajan sembarangan. Melarang dan bersikap tegas bukanlah sebuah kekerasan bagi anak, tetapi bentuk sebuah kecintaan dan rasa sayang. Kita tidak ingin semuanya menjadi terlambat, bukan?
“Ayo, Ibu-Ibu, lebih rajin lagi masak untuk anak-anak. Ayah-Ayah, jangan biasakan memberi uang jajan pada anak-anak. Sahabat yang menjual makanan, mari bertanggung jawab pada lingkungan kita.” ~ copas dari statusnya Aminah Mustari
Mari kita sebarkan #kampanyejajanansehat bagi orang-orang tercinta di sekeliling kita. Sayangi putra-putri kita dengan tidak membiarkannya jajan sembarangan.
************
Semoga catatan ini menjadi pengingat bagi kita tentang arti pentingnya kesehatan pada tubuh kita.
Salam santun,
~Evi A.~
Medan, 10 Septermber 2013